Langsung ke konten utama

[SEKECIL APAPUN , KITA PASTI BERMAKNA]

Menjadi melatilah, meski tampak tak bermakna. Sebab ia akan tebar harum wewangian tanpa meminta balasan. Sebab ia begitu putih, seolah tanpa cacat. Sebab ia tak takut hadapi angin dengan mungil tubuhnya. Sebab ia tak ragu hadapi hujan yang membuatnya basah. Sebab ia tak pernah iri melihat mawar yang merekah segar. Sebab ia tak pernah malu pada bunga matahari yang menjulang tinggi. Sebab ia tak pernah rendah diri pada anggrek yang anggun. Sebab ia tak pernah dengki pada tulip yang berwarna-warni. Sebab ia tak gentar layu karena pahami hakikat hidupnya.

Saya mengutip paragraf di atas dari Majalah Tarbawi. Sahabat, rasa rendah diri kadang menjadi salah satu penyebab tersanderanya diri seseorang untuk bergerak, berbuat, berkarya dan berkontribusi. Membandingkan keterbatasan diri dengan orang lain yang telah ternama dan segudang prestasi, menjadikan kelemahan untuk menunda melakukan sesuatu, mendalilkan kekurangan sebagai hantu untuk enggan bergerak. Kenapa bisa begitu? Karena kita menjadikan kesempurnaan sebagai syarat apapun, menatap selalu keatas dan lupa melihat kebawah. Sadarilah betapa banyak mereka yang lebih terbatas, kekurangan, lemah, dan kecil dari kita tapi telah berbuat sesuatu, sementara kita masih belum memiliki bayangan apapun yang akan dilakukan.

Dari sejuta kekurangan yang ada dalam diri kita, saya selalu berkeyakinan pasti memiliki satu potensi untuk berbuat kebaikan, sekecil apapun itu. Mulailah dengan yang kecil itu, jangan menunggu hal yang besar namun tak kita miliki dan hanya angan-angan. Mulailah merencanakan, bergerak, berkolaborasi dan berproses. Setiap proses pasti akan menghasilkan sekecil apapun. Lebih baik kecil tapi bermakna dari pada berkhayal besar namun hampa dan tidak berbuat apa-apa.

17022018 14:26 Badara Sultan Muhammad Salahuddin
#IWANwahyudi
#MariBerbagiMakna
#inspirasiwajahnegeri
#KomunitasGerimis
www.iwaninspirasinet.blogspot.com

*) Foto bersama bro Arif saat Touring Mataram-Tambora + pendakian kepuncak gunung Tambora peringatan 200tahun meletusnya gunung tambora 11 April 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me