Kesadaran
adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakrawala.
Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata.
Potongan
lirik di atas saya dengar dari kaset Iwan Fals yang dibeli pada saat SMA dulu.
Dari judul lagu “Paman Doblang” yang dibawakan oleh “Kantata Takwa”. Sebuah
group band kolabrasi luar biasa orang-orang yang giat melakukan kritik sosial
lewat seni dimasa orde baru. Terlahir dari proses interaksi kerisauan besar
yang berasal dari ruang workshop Setiawan Djody. Tujuh orang personil
nya, Iwan Fals
(vocal), Sawung Jabo (vocal), WS Rendra
(vokal pendukung), Setiawan Djody (gitar), Jockie
Surjoprajogo (keyboard), Donny Fatah
(bass) dan Innisisri (drum).
Saya belakangan baru mengetahui salah
satu personilnya adalah WS. Rendra seorang sastrawan. Dan “Paman Doblang”
adalah salah satu sajak karyanya. Lengkap sajak yang ditulis tahun 1984 itu
seperti berikut:
PAMAN DOBLANG – WS Rendra
Paman
Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.
Ada hawa. Tak ada angkasa.
Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.
Terkunci. Tak tahu di mana berada.
Paman
Doblang! Paman Doblang!
Apa katamu?
Ketika
haus aku minum dari kaleng karatan.
Sambil bersila aku mengharungi waktu
lepas dari jam, hari dan bulan
Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk
tidak berupa, tidak bernama.
Aku istirah di sini.
Tenaga ghaib memupuk jiwaku.
Paman
Doblang! Paman Doblang!
Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.
Kamu terkurung dalam lingkaran.
Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.
Kaki kamu dirantai ke batang karang.
Kamu dikutuk dan disalahkan.
Tanpa pengadilan.
Paman
Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang, apa katamu?
Kesedaran
adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.
(Depok,
22 April 1984)
Terlahir
dengan nama Willibrordus Surendra Broto Narendra lahir di Solo, Hindia Belanda,
7 November 1935 dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu
Catharina Ismadillah. Darah seninya mengalir dari kedua orangtua. Ayahnya
selain seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada
sekolah Katolik, Solo,
juga dramawan tradisional. Dan ibunya
adalah penari srimpi di Keraton
Surakarta Hadiningrat.
Sejak muda, ia menulis puisi (saat SMP), skenario drama, cerpen,
dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Jurusan
Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, dan
dari almamaternya itu pulalah menerima gelar Doktor Honoris Causa. Selain itu pernah mendapat beasiswa
American Academy of Dramatic Arts (1964–1967).
Penyair
yang dijuluki “Burung Merak” ini sepulangnya dari Amerika tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di
Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman.
Namun, sejak 1977 kesulitan manggung karena tekanan politik rezim. Untuk
menyambung hidup dan karir ia hijrah ke Ibukota.
Darah seni dan jiwa panggungnya tak
pernah beku apalagi mati. Pada 1985, ia mendirikan Bengkel Teater Rendra
yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Di atas lahan sekitar 3 hektar Bengkel Teater ini berdiri termasuk didalamnya
bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga.
Ia seorang sastrawan kebanggan
Indonesia yang mendapat banyak penghargaan, diantaranya: Hadiah Pertama
Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah
Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975),
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976),
Penghargaan Adam Malik (1989), The
S.E.A. Write Award (1996),
dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Jiwanya sangat merdeka dan tak tinggal
diam melihat ketimpangan sosial juga perilaku penguasa yang melukai keadilan. Bahkan
pernah dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru. Ia banyak menyalurkan hal
tersebut melalui tulisan dan pementasan teater. Jejak jeritan nuraninya itu
terekam dalam buku kumpulan sajak dan puisinya: Ballada Orang-orang Tercinta
(Kumpulan sajak), Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak
Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian
Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan
Dalam Puisi, Disebabkan oleh Angin, Orang Orang Rangkasbitung,
dan Rendra: Ballads and Blues Poe.
Kumpulan
sajak lainnya, State of Emergency, Do'a untuk Anak-Cucu,
Perempuan yang Tergusur, Sajak Sebatang Lisong dan Nyanyian Angsa.
Orang-orang kritis pada masa Soeharto
tidak dibiarkan berkeliaran, apalagi membakar alam pikiran dan perlawanan masyarakat.
Dalam sebuah rapat mahasiswa di Salemba, Jakarta, 1 Desember 1977, ia membaca sajak yang
berjudul “Pertemuan Mahasiswa” mengobarkan semangat perlawanan. Pada tahun itu
juga, Rendra ditangkap dan menjadi tahanan di Rutan militer Jalan Guntur, Jakarta.
PERTEMUAN MAHASISWA – WS. Rendra
Matahari terbit pagi ini
mencium bau kencing orok di kaki langit,
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah
tingginya.
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
memeriksa keadaan.
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk
siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang
terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita di sini bertanya :
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
Perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
Alat-alat kemajuan yang diimpor
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya :
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa
?”
Sekarang matahari, semakin
tinggi.
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan
tenggelam.
Malam akan tiba.
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
Dan rembulan akan berlayar.
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
Akan hidup di dalam bermimpi.
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari
matahari akan terbit kembali.
Sementara hari baru menjelma.
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
Atau masuk ke sungai
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya
:
Ada yang menangis, ada yang mendera.
Ada yang habis, ada yang mengikis.
Dan maksud baik kita
berdiri di pihak yang mana !
(Jakarta, 1 Desember 1977)
Hari ini
genap 16 tahun silam sastrawan besar itu menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah
Sakit Mitra Keluarga Depok, Kamis, 6 Agustus 2010 pukul 22.20 WIB pada
usia 74 tahun.
Sajak-sajaknya tak pernah mati, akan tetap bersuara saat terlihat ketimpangan sosial. Puisi-puisinya tetap bergema terus saat penguasa mulai menindas rakyatnya dengan ketidakadilann. Walau penanya terhenti menuliskan kata, tapi kicaunya tetap abadi di dahan negeri ini.
KECOA PEMBANGUNAN-
WS. Rendra
Salah
dagang banyak hutang
Tata bukunya ditulis di awan
Tata ekonominya ilmu bintang
Kecoa..kecoa...ke...co...a.....
Dengan senjata monopoli
Menjadi pencuri
Kecoa...kecoa..ke...co...a...
Dilindungi kekuasaan
Merampok negeri ini
Kecoa, kecoa pembangunan
Ngimpi ngelindur disangka pertumbuhan
Hutang pribadi dianggap hutang bangsa
Suara dibungkam agar dosa berkuasa
Kecoa..kecoa..ke..co...a....
Stabilitas, stabilitas, katanya
Gangsir Bank
Gangsir Bank, kenyataannya
Kecoa..kecoa...ke..co....a...
Keamanan, keamanan, ketenangan katanya
Marsinah terbunuh, petani digusur,
kenyataannya
Kecoa pembangunan
Kecoa bangsa dan negara
Lebih berbahaya ketimbang raja singa
Lebih berbahaya ketimbang pelacuran
Kabut gelap masa depan
Kemarau panjang bagi harapan
Kecoa...kecoa...ke...co....a..
Ngakunya konglomerat
Nyatanya macan kandang
Ngakunya bisa dagang
Nyatanya banyak hutang
Kecoa...kecoa...ke...co..a...
Paspornya empat
Kata buku dua versi
Katanya pemerataan
Nyatanya monopoli
Kecoa...kecoa...ke...co..a...
#MariBerbagiMakna #MemungutKatakata #reHATIwan #reHATIwanInspiring #IWANwahyudi #InspirasiWajahNegeri
@rehatiwan @rehatiwaninspiring
www.rehatiwan.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar