Langsung ke konten utama

[BUKU, PENA, DAN KITA] --- Syamsudin Kadir

 



Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis Belasan Biografi Tokoh Nasional

Selasa 29 April 2025, tepatnya setelah shalat ashar, saya mendapat kejutan dari sosok yang satu dekade lebih terakhir menekuni dunia kepenulisan dan telah menulis belasan judul buku dalam beragam tema. Tak disangka, tiba-tiba saya mendapat kiriman buku pesanan saya dari seorang sahabat yang berasal dari Kota Bima, NTB. Judul bukunya singkat dan padat tapi mengandung pesan panjang dan bermakna. "Buku, Pena dan Kita", begitu judul besar buku berukuran 12 x 19 cm ini. Bagi saya bukunya menarik dan pembaca bakal dibikin penasaran.

Tak menunggu lama, seketika saya meminta bantuan istri saya, Eni Suhaeni, untuk membuka plastik bukunya. Setelah itu, saya langsung membacanya hingga tuntas tanpa jeda. Ini termasuk buku ke-40 yang saya baca satu kali duduk hingga selesai. Saya sengaja melakukan ini agar pesan buku yang saya baca langsung masuk ke pikiran saya. Buku ini sendiri menggambarkan tekad dan kesungguhan penulisnya untuk berbagi semangat dan giat sehingga siapapun terus berkarya terutama menulis buku.

Penulisnya adalah sahabat baik saya Iwan Wahyudi, akrab saya sapa Bang Iwan. Melalui buku setebal 179 (plus xx) ini, Bang Iwan sukses berbagi 171 buah motivasi yang menyadarkan, menggerakkan dan memajukan. Lagi-lagi, saya membaca buku ini dalam waktu yang cukup singkat dan sekali duduk. Hal ini bukan saja karena pilihan diksinya yang mudah dicerna sehingga langsung masuk akal, tapi memang ungkapan yang dimuat mencerminkan betapa besarnya motivasi penulisnya, yang menurut saya tak bisa dihitung bilang.

Saya menyarankan agar pembaca, terutama penulis pemula, segera memiliki dan membaca buku terbitan Zahir Publishing, Yogjakarta, Januari 2025 lalu ini secara tuntas. Jangan pernah malu dan ragu untuk memiliki atau membeli buku karya teman kita sendiri atau siapapun yang belum kita kenal. Berkaitan dengan semangat memiliki dan membaca buku, saya termasuk agak galak. Apa sebab? Karena tak sedikit yang begitu semangat mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah demi makan dan minum di tempat mewah, tapi untuk karya teman sendiri seperti buku diminta gratis alias gratisan.

Saya kira, sebagai teman yang baik atau pembelajar yang giat, penulis pemula seperti saya, termasuk pecinta literasi di luar sana, kita harus berani memulai sesuatu yang kerap kita remehkan selama ini: membeli buku teman sendiri. Termasuk membeli buku Bang Iwan ini. Kita harus berani melawan egoisme yang mengkristal dan menggunung dalam diri kita. Jangan pernah bakhil kepada teman kita sendiri. Kita harus berani menjadi orang, bahkan bila perlu orang pertama yang ridho memiliki dan membaca buku karya teman kita sendiri. Kita harus bangga sekaligus antusias untuk memiliki atau membelinya.

Tentu pekerjaan selanjutnya adalah membaca dan memahami isi bukunya. Pikiran dan hati kita mesti siap sedia menampung inspirasi yang kita temukan atau dapatkan, bahkan bisa juga dengan menulis buku baru. Baik tema yang sama maupun tema yang baru. Karena pembaca yang baik bukan saja mampu membaca bukunya hingga tuntas, tapi juga berusaha untuk menulis buku baru. Buku, Pena dan Kita adalah tiga kata yang mewakili semangat Bang Iwan dalam menebar kebaikan dan semangat berbuat baik kepada siapapun selama ini. Ketiganya adalah tiga elemen paketan atau satu kesatuan yang saling melengkapi.

Berkaitan dengan hal tersebut, saya menjadi teringat dengan ungkapan salah satu tokoh penting negeri ini yang berasal dari Muhammadiyah: Prof. Dr. Haedar Nashir. Ketua Umum PP Muhammadiyah ini pernah mengatakan begini, "Jika kita ingin menjadi bangsa yang maju, datanglah ke museum, perpustakaan, dan toko buku. Melalui kesadaran budaya dan sejarah, kita dapat membangun Indonesia yang memiliki jiwa pada nilai-nilai agama, kebudayaan leluhur bangsa, dan Pancasila, yang kemudian dikapitalisasi menjadi sistem ilmu pengetahuan."

Bang Iwan telah membuka jalan bagi siapapun untuk terus memastikan dunia literasi terutama kepenulisan di Indonesia terus menyala. Kita salut dan bangga pada Bang Iwan yang telah mengisi ruang yang selama ini tak banyak orang yang mau dan mampu mengisinya. Bagaimana pun, jumlah penulis buku di Indonesia semakin menurun dan tak sebanding dengan jumlah penduduk Indonesia yang kini mencapai 280 juta jiwa. Karena itu, kehadiran buku Bang Iwan ini menjadi pemantik semangat kita untuk segera berkarya. Selebihnya, kita perlu memastikan diri untuk menjalani tiga kunci peradaban maju ini: rajin membaca, giat menulis dan aktif mempublikasi! (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[PRABOWO, BUKTIKAN ! JANGAN JANJI TERUS]

Episode yang membuat semua mata anak bangsa bahkan sudah tersiar ke media internasional, bagaimana Rantis Baracuda Brimob melindas pengemudi ojol hingga tewas bernama Affan Kurniawan, Kamis malam lalu. Ini bisa menjadi "martir". Seperti mahasiswa Arief Rahman Hakim 1966 dan empat pahlawan Reformasi 1998, yang kemudian kita semua tau berujung pada berakhirnya Soekarno dan tumbangnya Soeharto.  Sejak malam itu para pengemudi Ojol menunjukan solidaritas nya di depan Mako Brimob hingga pagi.  Aksi solidaritas kemudian menjalar ke beberapa daerah di tanah air pada hari Jum'at. Bukan saja pengemudi ojol saja, tapi mahasiswa dan rakyat ikut turun. Pengrusakan, terutama kendaraan dan kantor polisi tak bisa dihindari.  Presiden hingga Ketua DPR Puan memberikan pernyataan permohonan maaf ditambah kalimat, "Nanti kami akan perbaiki" hal-hal yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Lebih kurang demikian, ininya NANTI. Ini artinya berjanji.  ...

014 [PERANG DIPONEGORO, PERANG TERMAHAL BELANDA DI INDONESIA]

  Belanda salah satu penjajah Indonesia yang sangat lama dibandingkan negera lainnya. Hal itu bukan berarti mulus-mulus saja. Perlawanan di berbagai daerah di Nusantara meletus silih berganti sepanjang waktu. Walau dengan persenjataan yang sebanding, namun api perjuangan itu tak mampu dipadamkan dengan mudah hingga kemerdekaan itu benar-benar diproklamasikan. Salah satu perang yang dicatat sebagai perlawanan terbesar dan termahal yang dihadapi oleh Belanda ialah Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang meletus selama lima tahun sejak tahun 1825 hingga 1830. Penyebab dari perang Diponegoro ini diantaranya, Belanda ikut campur tangan dalam kehidupan keraton yang pastinya merupakan akal licik untuk mempengaruhi dan mengadudomba. Selain itu beban ekonomi rakyat akibat aturan pajak yang diberlakukan Belanda, pengusiran terhadap rakyat karena tanahnya termasuk tanah yang disewakan. Dan yang paling khusus adalah pemasangan patok-patok jalan oleh Belanda yang melintasi makam para leluhur Pa...

[DARI CAHAYA LAMPU KITA BELAJAR MENJAGA FASILITAS NEGARA]

Suatu ketika khalifah Umar bin Khatab RA kedatangan seseorang saat mengerjakan tugas Negara dengan diterangi cahaya lampu. Setelah mempersilahkannya masuk dan duduk sang Khalifah bertanya pada tamu “ Apakah yang akan kita bicarakan adalah masalah Negara atau masalah pribadi ? “ . Ketika sang tamu menjawab permasalahan pribadi Umar langsung mematikan lampu dan sang tamu dibuatnya terkejut. Belum habis keterkejutan sang tamu pemimpin kaum muslimin ini menjelaskan, sebelum sang tamu datang ia sedang mengerjakan tugas Negara dengan menggunakan lampu yang merupakan fasilitas Negara, sekarang kita akan membicaraka permasalahan pribadi sehingga tidak layak jika juga harus menggunakan fasilitas Negara. Mungkin cerita diatas menyadarkan kita akan pentingnya menjaga dan memisahkan mana yang menjadi amanah Negara atau public yang sedang melekat pada kita dengan status pribadi kita. Kisah diatas kemudian melahirkan pertanyaan ngeles kita “ Ah itukan wajar karena mereka sahabat Rasul da...