“Agak sunyi, namun lebih berarti. Sedikit sepi, tapi
lebih baik begini. Dibanding riuh kalian dalam kamuflase kebohongan
dan pengkhianatan.”
Betapa sering kita disesaki oleh
dinamika kehidupan yang penuh dengan sorak-sorai saling meneriaki dalam berburu
kekuasaan. Inilah jaman, dimana yang ramai ditampilkan pada khalayak menjadi
pusat perhatian kemudian menjadi pilihan.
Begitu selalu kita diperdengarkan
oleh orkestrasi yang tak merdu, tapi nyaring hingga mau tak mau telinga tak
bisa disumbat. Suara rayu dan cumbu kesenangan fatamorgana yang diburu banyak
orang hingga menjadi trend dan gaya
hidup kekinian.
Alangkah penuhnya mata kita
setiap saat dipertontonkan drama yang menyentuh hati dan menarik semua
perasaan. Padahal itu bukan kenyataan, hanya fiksi yang dibangun mengelabui.
Agar ketidaksetiaan menjadi jalan keluar atas perselingkuhan. Supaya dusta
menjadi kebiasaan yang paling diterima atas alasan melawan kebohongan.
Kita butuh sedikit ruang tepi
menjadi rest area. Menyerap lebih
banyak energi kesadaran memilah siapa yang benar dan kamuflase. Mana yang asli
dan imitasi.
Kita kekurangan kamar sepi tempat
berkontemplasi. Menggali lebih dalam lagi dasar hati untuk mengukur perjalanan
ini lebih jauh melenceng atau masih dalam garis yang bisa dimaklumi.
Kita selalu menghindari suasana
sunyi. Dengan dalih hidup ini makhluk sosial yang berinteraksi, menjauhi
sorotan dan pandangan tak berdasar atas label menutup diri. Bukankah saat sunyi
diri akan banyak menyadari, pada saat seperti itulah lebih dekat dengan pemilik
hati.
Hidup ini bukan sepi atau ramai,
sunyi atau riuh. Ia perjalanan mana yang baik atau salah, siapa yang sadar atau
gila, kesetiaan atau penyelewengan, candu atau ghirah bahkan gelap atau
terang.
Merpati 22, 24 Agustus 2024
IWAN wahyudi
Komentar
Posting Komentar