Setahun yang lalu, saya diajak sahabat saya Syamsudin Kadir ke Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat. Bertemu mahasiswa Institut Agama Islam Nurul Hakim (IAI HN) di Aula TGH. Abdul Karim di dampingi juga oleh rektornya DR. TGH. Muhlisin dan ke Pondok Putri. Kali ini giliran Ma'had Aly Darul Hikmah lil Fiqhi wa Dakwah Nurul Hakim yang kami sambangi.
Masih tahun lalu juga, saya diikutkan juga oleh Kang Kadir Zoomeet dengan alumni Nurul Hakim dari beragam latar, profesi, daerah dan angkatan. Ponpes Nurul Hakim berdiri sejak tahun 1948M/1387 H oleh TGH. Abdul Karim. Saya cuma diminta cerita bagaimana awalnya menulis dan pengalaman menerbitkan buku karya.
Tindak lanjut tiga acara tahun lalu itu menghasilkan dua karya buku antologi, "Merindui Nurul Hakim" oleh para Alumni dan "Santri Negarawan”. Saya di minta membaca dua naskah buku itu dan memberi komentar. Sepertinya juga masih ada beberapa naskah tulisan yang dalam proses menjadi buku, mendengar ceritanya.
Kami
diundang oleh Ma'had Aly Darul Hikmah lil Fiqhi wa Dakwah Pondok
Pesantren Nurul Hakim pagi hingga siang hari Sabtu akhir pekan kemarin,
25 Mei 2024. Kami
ditemani oleh Ustadz DR.Muhammad Muhlis salah seorang pengajar di Ma’had Aly
yang juga penulis buku “Meniti Jalan Surga, Risalah untuk Sahabat.”.
Mengawali penyampaian saya coba mengajak para santri untuk membaca kembali sejarah beberapa pahlawan nasional, penggerak ummat dengan karya tulis yang sampai saat masih menjadi rujukan.
Presiden pertama RI Ir. Soekarno yang juga anggota Persyarikatan Muhammadiyah membawa 12 peti buku yang menemani ketika diasingkan ke Bengkulu. Pada tahun 1930 membacakan pembelaannya pada persidangan di Landraad Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat” tak kurang ada sekitar 66 nama tokoh yang dikutip menjadi rujukannya. Diantara karya fenomenal lain yang ditulisnya dua jilid buku “Dibawah Bendera Revolusi” setebal 630 halaman.
Pangeran Diponegoro pemimpin perang Jawa 1825-1830 yang sedikit banyak membuat Belanda bangkrut. Setidaknya hampir sepuluh orang menuliskan heroisme seputar pertempuran babad Diponegoro dalam versinya masing-masing. Ada Babad Diponegoro Manado yang ditulis saat dibuang di Manado, Babad Diponegoro Suryo Ngalam, Babad Diponegoro Pakualaman, Babad Diponegoro Keraton Yogyakarta, Babad Diponegoro Kedung Kebo ditulis lawannya Cokronegoro, Babad Diponegoro versi Basah Gondo Kusumo 8 Jilid ditulis panglimannya, Babad Diponegoro Libasyah Abdul Majid ditulis Putra Diponegoro, Babad Diponegoro ditulis Istrinya dan Babad Diponegoro ditulis Ibunya.
Ada pula pahlawan bernama Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) Ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selama dipenjara menyelesaikan tulisan tafsir Al-Qur’an Al-Azhar. Selain 84 judul buku buah pena selama hidupnya dalam beragam tema dari keagamaan, keindonesiaan, politik, budaya, sastra hingga novel dan roman. Begitu pula dengan Mohammad Natsir ketua pertama Partai Masyumi dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) telah menulis sekitar 45 buku atau monograf dan ratusan artikel yang memuat pandangannya tentang Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929.
Mereka para pembela bangsa dan penebar dakwah yang tak perlu lagi disangsikan komitmen keislaman dan keindonesiaannya diantara banyak yang lainnya dengan jumlah tak berbilang seantero nusantara. Selain menggunakan metode dakwah ceramah dengan mendatangi langsung ummat, mereka menggunakan tulisan sebagai media dakwah yang disadari akan memiliki jangkauan lebih luas melintasi tempat dan waktu.
Tulisan para tokoh ummat ini memiliki peran penting dalam literasi gerakan dakwah hingga saat ini. Pertama, Alat diplomasi. Menyebarkan informasi dan korespondensi. Dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi Jilid I” pada halaman 325-344 terdapat surat-surat korespondesi Ir. Soekarno dan Tuan A. Hasan guru Persatuan Islam (Persis) Bandung terkait masalah-masalah keislaman. Dalam 12 surat yang tercatat rapih dan ditulis Soekarno saat menjalani hukuman buang oleh kolonial Belanda ke Pulau Ende Flores Nusa Tenggara Timur nampak sekali menulis menjadi alat menyebarkan pengetahuan keislaman.
Suatu ketika Jepang di Embargo oleh Amerika Serikat, tidak bisa mendapatkan minyak hingga industri Jepang nyaris lumpuh. Semua langkah sudah dicoba dan gagal, jika ini terus berlangsung maka akan terjadi malapetaka bagi negeri sakura itu. Laksamana Maeda yang rumahnya pernah digunakan sebagai perumusan teks proklamasi menyarankan agar Jepang melakukan lobi internasional. Namun, Laksamana Maeda dianggap sebagai pengkhianat yang telah memfasilitasi kemerdekaan dan menyerahkan senjata Nippon pada Indonesia. Maeda mengusulkan agar Perdana Menteri mengirim utusan ke Indonesia dan menemui seseorang yang sedang dipenjara, menceritakan kesulitan yang dialami bangsanya dan meminta pesakitan itu melobi Raja Arab Saudi, Raja Faisal agar bersedia mengirim minyak ke Jepang.
Usul yang kurang meyakinkan dan sulit dipercaya meminta bantuan pada orang yang tubuhnya saja tidak bisa kemana-mana dibalik jeruji besi. Tapi apa salahnya dan dicoba. PM Jepang mengutus seseorang bernama Nakajima San ke penjara Indonesia. Setelah menyampaikan pesan PM dan menceritakan kondisi Jepang, Nakajima dimintai selembar kertas dan pulpen. Sosok dibalik penjara itu kemudian menulis pesan dengan bahasa arab cuma setengah halaman kemudian melipatnya. Secarik kertas itu kemudian diminta untuk diantarkan ke Raja Faisal di Arab Saudi. Dengan menyebut membawa pesan dari pria dibalik penjara itu utusan Jepang dengan mudah bertemu langsung dengan Raja Saudi. Setelah membaca surat itu kemudian kepada Nakajima pemerintah Arab Saudi berjanji akan segera mengirim minyak melalui Indonesia yang akan melibatkan Pertamina. Dan pengiriman itu terealisasi melalu Pertamina dan Jepang bisa lepas dari kesulitan. Siapa sosok karismatik yang menulis surat dibalik jeruji besi itu? Ia adalah ulama Indonesia yang sangat di hormati oleh dunia Islam, Mohammad Natsir mantan perdana menteri Indonesia. Begitulah peran strategis literasi dalam diplomasi dan dakwah.
Kedua, Senjata Perjuangan. Alat propaganda dan pencerdasan bangsa. Moh. Hatta dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Belanda pada 9 Maret 1928 selama tiga setengah jam yang terkenal dengan Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka, menguliti praktik eksploitasi yang dilakukan rezim kolonial di Hindia Belanda. Dua tahun kemudian 1930 kita juga ingat, Ir. Soekarno juga membacakan pembelaannya pada persidangan di Landraad Bandung yang berjudul “Indonesia Menggugat”. Dua tulisan orang yang kemudian menjadi proklamator kemerdekaan RI itu menjadi alat propaganda yang didengar oleh dunia dan membuka mata mereka bahwa penjajahan Belanda benar-benar menyengsarakan bangsa Indonesia.
Ketiga, Warisan Perjuangan. Pikiran
dan ide akan menerobos lintas generasi dan jaman melalui literasi. Apa yang terjadi dimasa
lalu, mustahil bisa sampai pada masa ini tanpa ada dokumen dan tulisan yang
menjelaskan hal itu. Kitab-Kitab keislaman, buku karya intelektual, catatan sepak
terjang perjuangan kesultanan dan kerajaan bisa dinikmati oleh generasi
sekarang tak lepas dari apa yang bernama goresan pena. Surat-surat RA. Kartini
dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bermacam versi Babad Diponegoro, pidato pembelaan
Soekarno-Hatta dan lainnya, Tafsir Al-Azhar Hamka serta semua warisan
perjuangan dan dakwah lainnya dapat awet melintasi waktu karena diabadikan
dalam tulisan. Dakwah di era sekarang dengan fasilitas menulis yang berserakan,
tak ada lagi alasan yang masuk akal untuk meninggalkannya.
Dan hari ini dakwah bukan lagi sebatas lembar kertas dan tulisan di media cetak. Ia sudah memasuki era digital dengan beragam sarana media sosial yang membanjiri generasi jamannya. Bila para santri dan pendakwah malah menjauhi media itu, bukankah itu yang dinamakan memberi jarak bahkan menjauhi obyek dakwah kita.
Pesantren dengan sumberdaya melimpah lulusan tiap tahunnya merupakan aktor yang seharusnya menjadi penggerak dan pemberi pencerahan utama di ranah dakwah baru itu. Dan bagaimana agar Ma’had Aly Ponpes Nurul Hakim bisa berperan disana?
Pertama, Mulai dari sekarang menjadikan menulis sebagai sarana berdakwah dan membiasakan menulis sebagai tradisi selain berdakwah dengan retorika dan ceramah.
Kedua, Memiliki platform media sosial sebagai sarana mempublikasikan dan memposting tulisan dan ceramah dakwah agar ruang itu juga dipenuhi dengan hal-hal positif dan mengajak ke jalan ilahiyah untuk membendung konten-konten maksiat dan negatif yang telah menyesakin ruang tersebut dan mudah diakses siapapun.
Ketiga, Memfasilitasi Penerbitan karya tulis dari para pengajar dan santrinya terutama karya tulis populer yang sangat dibutuhkan oleh ummat yang tinggal dipelosok desa. Seperti buku kumpulan khutbah Jum’at dan hari raya Ied, buku fiqh praktis sehari-hari : shalat, pengurusan jenazah, dan sebagainya. Bisa juga buku berisi kisah inspratif berdakwah dimasyarakat ketika pelaksanaan KKN.
Mahasantri
di Ma’had Aly akan ditempa dalam waktu empat tahun atau delapan semester
lamanya. Mereka perlu disiapkan juga menjadi para dai yang siap berjibaku dalam
dakwah di era baru. Dakwah literasi dan digital. Mereka harus tumbuh juga
bersama generasinya para milenial dan generasi Z yang kian waktu akan
mendominasi, apalagi dengan bonus demografi 2045. Biar buah dakwah manisnya
terus memberi rasa sepanjang jaman. Ma’had Aly yang berdiri sejak tahun 1990
lalu ini pasti akan mampu tumbuh dalam dakwah literasi.
26 Mei 2024
Komentar
Posting Komentar