Langsung ke konten utama

[BERBAGI CATATAN DALAM KEHIDUPAN]



 “Kemampuan membaca itu sebuah anugerah.
Kebiasaan menulis itu sebuah nikmat. Kegemaran berbagi; sebuah kebahagiaan dalam beramal.”
 

Berbicara catatan tak lepas dari laku baca tulis yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Mulai manusia meninggalkan masa prasejarah hingga kini. Hampir semua kita telah memiliki kemampuan itu sejak dibangku Sekolah Dasar, bahkan sebagiannya pada fase sebelum itu malahan. Namun, tak banyak yang menyadari bahwa sebuah catatan bisa sangat berarti baik bagi kehidupan diri sendiri maupun orang lain.

 

BUKU DARI CATATAN SESEORANG

Banyak sekali buku yang lahir dari catatan perjalanan, novel yang disadur dari catatan harian atau buku diari seseorang. Bahkan kemudian catatan itu dilayar lebarkan menjadi film tontonan yang tidak hanya menghibur, tapi juga menjadi tuntunan yang menginspirasi banyak orang.

Beberapa buku yang berasal dari sebuah catatan harian pernah saya baca diantaranya; 99 Cahaya Di Langit Eropa , Catatan Seorang Demonstran dan 20 Puncak 21 Hari. Sebuah Autobiografi 99 Cahaya Di Langit Eropa merupakan buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama tahun 2011. Novel yang berisi perjalanan menapaki jejak Islam di Eropa dari kehidupan Hanum Salsabiela Rais saat menemani suaminya Rangga Almahendra mengikuti kuliah selama tiga tahun di Wina, Austria. Kemudian sebuah film layar lebar dengan judul yang sama diadaptasi dari novel ini, pemutaran perdananya pada 29 November 2013. Masuk film termahal dengan anggaran 15 miliar rupiah.

Kemudian Buku Catatan Seorang Demonstran merupakan buku harian seorang aktivis mahasiswa bernama Soe Hok Gie. Ia mahasiswa Jurusan Sejarah (1962-1969) Fakultas Sastra Universitas Indonesia kelahiran 17 Desember 1942. Sosok yang meninggal saat mendaki gunung pada 16 Desember 1969 ini, aktivis yang menentang kediktatoran berturut-turut dua presiden Indonesia, Soekarno dan Soeharto. Buku Catatan Seorang Demonstran terbit tahun 1983 dan menjadi inspirasi film berjudul Gie pada tahun 2005, yang disutradarai Riri Riza.

Sedangkan buku Buku “20 Puncak 21 Hari, The Impossible Expedition” yang terbit tahun 2014 merupakan catatan perjalanan ekspedisi atlit Indonesian Mountains bernama Andre Febrima pada tahun 2013. Ia bersama Tim Ekspedisi Halilintar nya  dalam menjelajah 20 puncak gunung di Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat  selama kurun waktu 20 hari. Dari mulai puncak Mahameru, Raung, Batur, Rinjani hingga Tambora.

 

CATATAN PARA PEMBURU ILMU

Para pemburu ilmu dan cendekiawan disepanjang sejarah manusia juga tak lepas dari kegiatan mencatat. Menulis apa yang di dengar, dibaca juga dilihatnya. Hingga melahirkan banyak buku dan kitab yang masih relevan bahkan menjadi panduan manusia hingga jaman kini. Imam Syafi’I ra pernah bertutur, “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang, Setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja” (Diwan Asy-Syafi’i).

Terkait mencatat ilmu ini juga seperti apa yang dipesankan oleh Nabi Muhammad saw. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

                                                    قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ                                                                

Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, no.4434. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Yang dimaksud qayyidul ‘ilma adalah kuatkan dan hafalkan serta jaga jangan sampai lepas. Ilmu jika hanya didengar, hati akan sulit mengingatnya. Ilmu itu diikat lalu dijaga. Jika hati sering lupa, ilmu itu perlahan-lahan akan hilang. Itulah sebabnya kenapa penting untuk mencatat.  Allah Ta’ala berfirman terkaitnya pentingnya aktivitas mencatat ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Pada masa Khulafaur Rasyidin kita mendapatkan keteladanan dengan pengumpulan, penulisan dan pembukuan Al-Qur’an. Kemudian dari kitab-kitab hadist yang ditulis oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Da’ud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad An-Nasa’I dan Imam Ibnu Majah yang hidup di masa ratusan tahun setelah hijrah (Imam Bukhari Lahir pada tahun 194 H, Imam Ibnu Majah lahir tahun 209 H) para genarasi tabi’un tabi’in hingga kita saat ini mengetahui dan mempelajari bagaimana Rasulullah Muhammad saw mengajarkan Islam lewat perkataan dan melalui perbuatannya yang mulia dan agung.

Mencatat merupakan laku yang banyak manfaatnya dalam kehidupan manusia hingga firman  Allah swt dan Rasulnya mengajarkan dan memerintahkan hal tersebut. Diantara manfaat mencatat : (1) Mendapat kemudahan dan keberkahan. Aktivitas menyimak dan mencatat adalah termasuk adab dari menuntut ilmu. Mengajarkan kebaikan dapat dilakukan dengan lisan ataupun tulisan, (2) Mencegah lupa, (3) Mengikat dan menjaga ilmu, (4) Menyimpan dan mengabadikan ilmu, (5) Mewariskan, mengembangkan dan menyebarkan ilmu, dan (6) Memperpanjang umur manfaat melebihi umur biologis, Catatan dan Ilmu yang ditulis kemanfaatannya jauh melampaui umur biologis, bahkan hingga ribuan tahun setelah mereka wafat.


CATATAN PARA MALAIKAT

Apakah jika manusia lengah bahkan melupakan aktivitas menulis, maka kehidupannya tak ada yang mengabadikan dalam catatan? Mungkin karena sebagian kita merasa hanya manusia biasa dan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan kebanyakan orang, menganggap mencatat tidak terlalu penting dan bermanfaat. Namun, pada kenyataanya ada malaikat pencatat amal baik berada di sisi sebelah kanan untuk mencatat amal kebaikan,yaitu malaikat Raqib. Sedangkan malaikat yang berada di sisi kiri untuk mencatat amal buruk adalah malaikat Atid. Sebagaimana firman Allah swt,  "Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. Al Infithar ayat 10-12).

Mengapa harus sibuk mencatat, sedang sudah ada malaikat yang mencatat bahkan lebih detail dari apa yang dicatat oleh manusia itu sendiri? Agar peduli pada diri sendiri. Catatan malaikat tak mungkin bisa di intip setiap hari.  Bila hati peka, maka melihat catatan keburukan dan kemaksiatan oleh diri sendiri sejak dini akan bisa menjadi warning untuk lekas tersadar meninggalkanya. Kemudian berburu amal kebaikan kembali sebanyak-banyaknya. Sesungguhnya hidup ini sebuah catatan panjang.


Mataram, 21 Juli 2024

Iwan Wahyudi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me