Hari ini Selasa 28 Mei 2024 di duetkan kembali dengan Kang Saymsudin Kadir, mendapat undangan menjadi pemateri Pelatihan Kepenulisan Nasional di SMKN 1 Kuripan Lombok Barat dengan tema “"Aku Menulis Maka Aku Ada". Pagi-pagi saya menjemput Kang Sysmsudin Kadir ditempatnya menginap dan meluncur menembus hawa dingin dan sedikit berkabut dengan sepeda motor melalui jalan by pass menuju bandara BIZAM (Bandara Internasional Zainudin Abdul Madjid) Lombok. Lokasi sekolah tersebut dekat sekali dengan jalan itu tepatnya di Jl. TGH. Abdul Hafidz No.2. Desa Labulia Kecamatan Kuripan.
Kegiatan dilaksanakan diaula sekolah yang sangat rindang dan asri. Di SMK ini ada empat jurusan keahlian yang diambil oleh para siswanya : Teknik komputer dan jaringan, Agribisnis tanaman pangan dan holtikultura, Agribisnis pengolahan hasil pertanian dan Agribisnis ternak unggas. Hadir sekitar 300-an siswa yang membuat aula sekolah membludak.
Secara nasional jumlah siswa SMK menyamai SMA bahkan pernah melebihi. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) melaporkan, jumlah murid di Indonesia sebanyak 53,14 juta orang pada semester ganjil tahun ajaran 2023/2024. Dari jumlah tersebut ada 5,32 juta murid yang mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Sedangkan jumlah murid yang berada di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 5,08 juta orang.
Kampanye positif terhadap SMK membuahkan hasil, namun belum sepenuhnyamenghilangkan stigma negatif yang melekat pada sekolah kejuruan. Anggapan bahwa kualitas SMK tak sebagus SMA, perilaku siswa yang distigma bandel, dan kurang mendukungnya lingkungan belajar, angka dropout dan pengangguran lulusan yang tinggi menjadikan SMK dipandang sebelah mata dan kerap dijadikan pilihan kedua.
Secara umum memang hal itu menjadi tantangan bagi semua siswa sekolah menengah atas dan sederajat. Mereka yang berada pada fase pubertas cenderung larut dalam upaya mencari jatidiri. Begitu pula dengan derasnya arus teknologi informasi yang menyuguhi semua hanya dalam genggaman tangan bernama android atau smartphone. Ini menjadikan mereka menjadi generasi mager (malas gerak), semua aktivitas bisa dilakukan dengan online hingga interaksi sosial secara fisik nyaris tak ada dan kemudian terjangkit virus serba instan. Hingga semua dibawa slow alias santai. Akses belajar dengan literatur yang bisa diakses secara digital menambah kemalasan untuk berprestasi.
Mereka menjadi sasaran empuk penyakit masyarakat selain kejiwaan yang labil juga sering mencoba-coba hal baru. Ini yang kemudian mempengaruhi terkikis dan pudarnya etika dan kesantunan pada remaja kita dewasa ini. Hal ini menjadi tanggungjawab bersama bukan hanya pada para siswa itu sendiri dan lingkungan sekolah, tapi yang tidak kalah penting adalah lingkungan keluarga dan masyarakat dimana mereka banyak menghabiskan waktunya.
Para remaja merupakan bagian dari pemuda yang memiliki potensi lebih besar dibanding rentang usia biologis sebelum dan sesudahnya. Dimana secara fisik menjadi puncak kekuatan, secara ide dan gagasan berada pada kecemerlangan pikiran dan secara emosi selalu menggebu dan dipenuhi semangat untuk menjadi lebih dibanding yang lainnya.
Potensi luarbiasa ini perlu dipupuk dan dikembangkan hingga meletup menjadi hal yang positif untuk melawan sigma negatif yang dilekatkan selama ini. Membuktikan bahwa masih banyak yang bisa berkarya dibanding segelintir oknum pelajar yang viral dengan stigma negative itu. Salah satu gerakan untuk melawan stigma itu dengan tradisi menulis dikalangan pelajar terutama SMK.
Setelah memberi gambaran, lebih pada refleksi bagi pelajar sebenarnya terkait potensi dan tantangan yang mereka hadapi. Saya menyampaikan betapa para tokoh bangsa sejak lama telah memberikan keteladanan berprestasi hingga dikenal hingga ke mancanegara dengan tulisan atas gagasan-gagasannya. Spirit dan perilaku praktek positif yang perlu kita tarik kembali di era kekinian.
Untuk menjadi seorang penulis semua orang punya faktor pemicunya sendiri-sendiri, tapi untuk memotivasi menulis saya memaparkan tiga hal. Pertama, Penulis hebat lahir dengan cara menulis. Ada sebuah ungkapan dan peribahasa “ Alah bisa karena biasa”. Kepandaian bisa dikalahkan dengan perbuatan yang sudah terbiasa. Bahasa sederhananya, jam terbang menjadikan orang lebih jago. Para penulis ternama, untuk menjadi seperti titik hari ini tidak begitu saja secara instan dengan simsalabim, tapi dengan proses belajar dan terus mencoba menulis lagi. Segala kegagalan dan kesukaran menulis tidak akan terasa lagi beratnya apabila sudah terbiasa dan terus diasah. Jadi tidak ada cara lain untuk bisa menjadi penulis selain terus menulis dan menulis terus.
Kedua, Tiap tulisan ada takdir mata yang membacanya. Setiap tulisan yang digoreskan pasti ada saja yang memandangnya sebelah mata bahwa tulisan itu jelek, tidak layak, recehan, tidak akan ada yang membaca dan sebagainya. Rasa ini kadang datang dari dalam diri penulis itu sendiri kadang-kadang, dari orang sekitar apalagi. Jika kita sendiri tak meyakini tulisan kita memiliki sesuatu yang perlu orang lain baca, apalagi orang lain bisa percaya. Pecaya dirilah untuk menulis dan mempublikasikannya, karena setiap tulisan sudah punya takdir mata yang membacanya. Termasuk tulisan pertama mu yang masih pemula dan cupu.
Ketiga, Mencatat Ide. Ia datang tak mungkin kembali, atau sebelum ide itu dicuri orang. Ide itu beterbangan diseantero semesta ini Mulai dengan menulisa apa yang kita lakukan, menulis apa yang orang lakukan atau ceritakan, inspirasi dari perilaku atau gerak hewan dan tumbuhan, hingga imajinasi, mimpi dan khayalan yang berkelebat. Cuma kadang tidak segera dicatat, ketika butuh ide menulis sulit menarik kembali kilasan ide yang sudah berlalu. Dan kita baru tersadar akan hal itu saat orang lain menuliskannya. “ Lah, itukan ide tulisan yang pernah mau saya ketik dulu.” Dengan kemudahan teknologi, mencatat ide tak lagi serepot membawa blocknote kecil dan pulpen, cukup dengan mengetiknya di smartphone kesayangan. Setelah ada waktu luang baru lengkapi dan tambahi agar sempurna menjadi tulisan yang utuh.
“SMK....” , kemudian para
siswa serentak teriak “Bisaaaaa...”
“Menuliiiiis…” dan dengan lebih semangat mereka menyahut, “Menyala abangku…”
Yel-yel itu selalu menjadi
jeda saat 300an siswa mulai tidak fokus dan ruangan mulai menghangat seiring
matahari kian meninggi, apalagi pendingin ruangan tak mampu menjaga sirkulasi
kesejukan udara.
28 Mei 2024
IWAN wahyudi
Komentar
Posting Komentar