Langsung ke konten utama

20 [TELAGA LITERASI]

 

20 [TELAGA LITERASI]

"Telaga, keberadaannya sekarang mugkin tak populer, terkalahkan oleh sumber air lainnya. Nama boleh berubah tapi fungsinya tetap. Mengalirkan air di persawahan atau perkebunan."

 

Saya mengenal telaga sebagai sumur yang digali disawah tempat petani mengambil air menyirami tanaman-tanamannya. Selain tanaman kadang juga air telaga digunakan untuk minum bintang ternak. Pada umumnya (di kampung saya Bima NTB) telaga ada yang berair keruh dan jernih. Telaga jernih juga biasa diminum oleh petani. 

Walaupun definisi telaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cukup banyak, tapi saya memaknainya dengan apa yang saya lihat dan penamaan masyarakat Bima terhadap sumur di sawah itu. Karena jika kata telaga itu diucap maka memori dikepala saya akan tersambung pada hal itu.

Telaga kini sudah kian langka terganti dengan sumur bor yang dapat mencari mata air jauh lebih dalam dan besar. Dan tentu mengambil air nya sudah menggunakan mesin air diesel. Dulu biasanya menggunakan timba atau wadah yang terbuat dari seng/kaleng dengan dipikul turun naik tangga kedalam telaga. 

Telaga bersumber dari mata air yang ada disawah/ladang. Selalu menyediakan air sepanjang musim tak henti-hentinya walau dimasa kemarau, debit airnya tentu berkurang/kecil. Mata air yang tidak terlalu dalam tapi dekat dengan aktifitas petani di sawahnya. Tempat mereka mengais rejeki dari-Nya. 

Telaga menghidupi manusia, tumbuhan dan hewan. Ukurannya tak besar, seukuran sumur pada umumnya. Tapi dapat menyirami sawah yang luasnya berkali-kali lipat dari telaga. Tempat binatang meneguk air saat haus. Manusia menimba airnya untuk kebutuhan dasarnya, air. 

Pekan pertama Idul Fitri lalu saya Absen dari acara Kulturahim, Halal Bihalal Komunitas Literasi Bima di Kalikuma Educamp Pantai Ule Kota Bima. Sehingga tidak bisa silaturahim dengan para peserta, khususnya penggagas acara. Bukan soal salaman dan ritual pasca lebaran saja yang menjadi tujuan saya. Tapi mendengarkan recik-recik motivasi berliterasi dari Prof. Abdul Wahid atau biasa kami sapa beliau Aba Du Wahid  menjadi hal menyegarkan. Untuk mengganti hal itu saya berkesempatan ngobrol dengan beliau di Uma Kalikuma Ampenan semalam, 25 April 2024.

Bulan Maret 2015 Awal saya ke kedai kopi dan buku Kalikuma (sekarang Uma Kalikuma). Sebuah rumah di Ampenan yang disulap menjadi tempat nongkrong, diskusi, ngopi dan perpustakaan dengan koleksi buku hampir 1000 judul yang diberi nama Kalikuma. Maksud hati hanya mencari tempat tongkrongan dan ngopi ketemu darat dengan sahabat saya Ardy S dan Rangga Babuju, namun ibarat sekali mendayung dua tiga pulau tersinggahi. Di tempat ini dahaga tentang wawasan literasi dan budaya, terutama lokal Bima menemukan tegukan airnya.

Setiap singgah selalu ada saja ilmu baru baik literasi maupun budaya dari diskusi ringan sambil menyeruput kopi. Bagi saya ibarat menemukan ruang yang selama ini belum terisi dari beraktifitas organisasi. Dan di kedai ini pula awal perjumpaan dengan lelaki berkaca mata Aba Du Wahid, pemiliknya. Silaturahim, diskusi, literasi dan kopi. Setiap bertemu dengan beliau tak jauh-jauh dari empat hal ini menu perjumpaannya.

Beliau seorang dosen yang juga penulis, begitu juga dengan istrinya. Beliau mendirikan lembaga dan penerbitan di Mataram sebagai bagian dari gerakan literasi yang menjadi nafasnya.

Di kedai kopi dan buku Kalikuma sering diadakan diskusi buku dan budaya. Baik itu yang tidak direncanakan seperti jika tiba-tiba kami berjumpa maka akan berlanjut menjadi diskusi yang hangat dan mendalam. Atau diskusi yang direncanakan seperti jika ada tokoh atau pegiat budaya juga literasi yang datang ke Mataram, maka di undang sebagai pemantik diskusi yang tentu banyak pengalaman mereka bisa kami dapatkan serta menjadi spirit untuk berliterasi.

Suatu waktu di malam Sabtu awal April 2018 saat saya berlibur akhir pekan ke Mataram dari Sumbawa. Sebuah keberuntungan dapat hadir dalam SKUTER (Sekolah Kalikuma Terlibat) yang telah dirancang lama dan telah beberapa pekan dimulai. Malam itu pematerinya Aba Du Wahid dengan mata pelajaran Perspektif/Sudut Pandang.

Pasca Skuter yang berlangsung hingga hampir jam 11, dilanjutkan dengan diskusi hingga melewati pukul satu dini hari yang begitu hangat ditambah dengan kehadiran Bang Fahru Rizki Blogger sejarah/budaya Bima yang datang dari Bima.. Etnografi yang merupakan spesialisasi doktoral Aba Du Wahid dan sudut pandang dunia literasi terutama terkait tulisan-tulisan di media sosial menjadi hal menarik sekaligus refleksi diri bagi saya khususnya malam itu.

 

Suatu saat antara tahun 2016 atau 2017 saya duduk ngobrol di Kedai Kalikuma dengan beliau sepulangnya dari Turki bersama beberapa dosen UIN lainya. Beberapa waktu kemudian perjalanan tersebut diterbitkan dalam buku berjudul "Belajar Mendunia, Catatan Orang NTB Melihat Dunia". Dari obrolan itu saya juga termotivasi dan berniat suatu waktu untuk membuat catatan perjalanan dan membukukannya.

Pada bulan Agustus tahun 2016 di salah satu desa di Kecamatan Narmada tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa UIN Mataram dengan dosen pembimbing Aba Du Wahid, mengadakan pelatihan kepenulisan dan pembuatan blog. Saya mendapat kesempatan menjadi salah seorang yang berbagi pengalaman perihal menulis pada para pemuda desa tempat KKN tersebut.

Di Bima tanah kelahirannya beliau mendirikan Kalikuma Library dan Educamp, tepatnya di kawasan Pantai Ule Kecamatan Asakota, Kota Bima. Pada  bulan Oktober 2021 ditempat ini digelar Mbojo Writer Festival selama tiga hari. Selain diskusi formal yang direncanakan, setiap beliau pulang ke Bima, ditempat ini selalu menjadi tempat kami menjumpai beliau dan kemudian berlanjut ke diskusi seputar literasi dan budaya. Bahkan hingga larut malam.

Sejak buku pertama saya terbit hingga sekarang, setiap buku karya saya sudah naik cetak menjadi sebuah keharusan bagi saya untuk menghadiahkan pada beliau sambil meminta masukan dan pandangannya terkait buku tersebut. Bagi saya catatan-catatan darinya sangat bermanfaat bagi perbaikan pada karya saya selanjutnya. Bila sudah demikian biasanya beliau juga memberikan saya buku karya beliau, apalagi jika ada yang baru terbit. Jika melihat saling memberi dan bertukaran hadiah seperti ini saya teringat pesan Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah –radliyallahu `anhu yang artinya, “Saling memberi hadiahlah (agar) kalian saling mencinta”.

Aba Du Wahid bagi saya ibarat telaga literasi. Bukan hanya terkait pengalaman dan kemampuan dalam hal menulis semata, tapi juga menjadikan literasi bagian dari kehidupannya dalam tataran aplikasi dilapangan.

26042024

IWAN wahyudi




Komentar

Postingan populer dari blog ini

[PRABOWO, BUKTIKAN ! JANGAN JANJI TERUS]

Episode yang membuat semua mata anak bangsa bahkan sudah tersiar ke media internasional, bagaimana Rantis Baracuda Brimob melindas pengemudi ojol hingga tewas bernama Affan Kurniawan, Kamis malam lalu. Ini bisa menjadi "martir". Seperti mahasiswa Arief Rahman Hakim 1966 dan empat pahlawan Reformasi 1998, yang kemudian kita semua tau berujung pada berakhirnya Soekarno dan tumbangnya Soeharto.  Sejak malam itu para pengemudi Ojol menunjukan solidaritas nya di depan Mako Brimob hingga pagi.  Aksi solidaritas kemudian menjalar ke beberapa daerah di tanah air pada hari Jum'at. Bukan saja pengemudi ojol saja, tapi mahasiswa dan rakyat ikut turun. Pengrusakan, terutama kendaraan dan kantor polisi tak bisa dihindari.  Presiden hingga Ketua DPR Puan memberikan pernyataan permohonan maaf ditambah kalimat, "Nanti kami akan perbaiki" hal-hal yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Lebih kurang demikian, ininya NANTI. Ini artinya berjanji.  ...

014 [PERANG DIPONEGORO, PERANG TERMAHAL BELANDA DI INDONESIA]

  Belanda salah satu penjajah Indonesia yang sangat lama dibandingkan negera lainnya. Hal itu bukan berarti mulus-mulus saja. Perlawanan di berbagai daerah di Nusantara meletus silih berganti sepanjang waktu. Walau dengan persenjataan yang sebanding, namun api perjuangan itu tak mampu dipadamkan dengan mudah hingga kemerdekaan itu benar-benar diproklamasikan. Salah satu perang yang dicatat sebagai perlawanan terbesar dan termahal yang dihadapi oleh Belanda ialah Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang meletus selama lima tahun sejak tahun 1825 hingga 1830. Penyebab dari perang Diponegoro ini diantaranya, Belanda ikut campur tangan dalam kehidupan keraton yang pastinya merupakan akal licik untuk mempengaruhi dan mengadudomba. Selain itu beban ekonomi rakyat akibat aturan pajak yang diberlakukan Belanda, pengusiran terhadap rakyat karena tanahnya termasuk tanah yang disewakan. Dan yang paling khusus adalah pemasangan patok-patok jalan oleh Belanda yang melintasi makam para leluhur Pa...

[DARI CAHAYA LAMPU KITA BELAJAR MENJAGA FASILITAS NEGARA]

Suatu ketika khalifah Umar bin Khatab RA kedatangan seseorang saat mengerjakan tugas Negara dengan diterangi cahaya lampu. Setelah mempersilahkannya masuk dan duduk sang Khalifah bertanya pada tamu “ Apakah yang akan kita bicarakan adalah masalah Negara atau masalah pribadi ? “ . Ketika sang tamu menjawab permasalahan pribadi Umar langsung mematikan lampu dan sang tamu dibuatnya terkejut. Belum habis keterkejutan sang tamu pemimpin kaum muslimin ini menjelaskan, sebelum sang tamu datang ia sedang mengerjakan tugas Negara dengan menggunakan lampu yang merupakan fasilitas Negara, sekarang kita akan membicaraka permasalahan pribadi sehingga tidak layak jika juga harus menggunakan fasilitas Negara. Mungkin cerita diatas menyadarkan kita akan pentingnya menjaga dan memisahkan mana yang menjadi amanah Negara atau public yang sedang melekat pada kita dengan status pribadi kita. Kisah diatas kemudian melahirkan pertanyaan ngeles kita “ Ah itukan wajar karena mereka sahabat Rasul da...