Langsung ke konten utama

[SETIAP TEMPAT ADALAH KANTOR]

 


“Menulis sebuah aktivitas yang tak perlu menunggu lowongaan pekerjaan dan lokasi berkantor .”

Saya hingga kini masih penasaran dan belum mendapatkan jawaban resmi kenapa pemerintah tidak menyediakan "Penulis" sebagai pilihan pekerjaan dalam identitas di KTP? Atau takut jadi pekerjaan mayoritas kemudian hari karena media sosial nadinya pada tulisan he...he...

Padahal menulis pekerjaan paling sulit, "Menulis adalah perjuangan paling sunyi, sebab kau benar-benar sendiri bergumul dengan segala." (Helvy Tiana Rosa @helvytianarosa ).Tapi inilah pekerjaan yang tak menunggu lowongan pekerjaan apalagi surat lamaran persyaratan. Sebenarnya santai dan bahagia aja menulis itu. Yang berat itu menulis laporan fiktif dan kuitansi bodong kan 😊

Masih kata bunda Helvy dalam kesempatan lain, "Tidak ada kata berhenti untuk menulis, dan menulis adalah pekerjaan mulia, karena menulis adalah kegiatan menanamkan berlian di hati para pembaca." Nah jika sudah disebut pekerjaan mulia kurang apalagi ayo?. Pasti ada yang dalam hatinya berbisik, "Kurang honor atau gajinya bang."

Mereka menulis suka-suka dimana saja dan waktunya kapan-kapan saja. Diruang tunggu saat Bapak sedang menjalani tindakan operasi, untuk membunuh rasa bosan saya menulis. Dikantor teman atau pejabat sambil menunggu kedatangan mereka, menulis jadi pilihan terakrab. Diruang baca perpustakaan yang lebih luas dari ruang kepala dinasnya sering saya jadikan kantor menulis sendiri, ngobrol dengan mereka yang mengedit karya. Pokoknya setiap tempat adalah kantor. Cuma satu yang belum saya rasakan, dipenjara seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Hamka hingga Sayyid Quthb. Yang terakhir ini semoga tidak pernah terjadi.

Nah ayo mulai dan terus menulis, karena kita tak akan dikejar-kejar uang sewa kantor tiap tahunnya. Cuma diburu menyelesaikan karya terbaik versi masing-masing.

Terimakasih fotonya Ibnu Batuta & Fitrah TA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me