Langsung ke konten utama

[MENULIS ADALAH BERJUANG]

 



Dalam acara Silaturahim Penulis Indonesia, 23 Desember 2023 beberapa hari yang lalu, saya dapat banyak energi baru untuk tetap dan terus menulis, salah satunya dari penyampaian Bunda Asma Nadia.

Menulis adalah berjuang, maka tak akan ada akhirnya. Jika capek dan berhenti berarti tidak berjuang. Narasi di media sosial itu dari tulisan, maka perbanyak dan teruslah menulis untuk mengisi ruang media sosial dengan kebaikan.

Ada distorsi terkait Islam. Ada upaya untuk menutupi, contoh tentang kebiadaban !srael. Perlu dicerahkam dengan data dan fakta sebenarnya dari penulis-penulis yang bernurani.

Lebih 100 toko buku tutup dan gulung tikat karena imbas covid-19. Maka menulis di media sosial menjadi pilihannya sekarang.

Penulis ikhlas itu tidak terbang melayang saat dipuji. Dan tidak lemah saat dicaci. Penulis hebat dapat menghilangkan rasa paling hebat dalam dirinya. Seperti laut tak pernah kurang biru dan pesonanya walau dikotori dengan sampah buangan manusia.

Usia tulisan lebih panjang dari usia penulis. Tulisan merupakan investasi dan memperoleh royalti, tapi yang terpenting investasi dan royaltinya tak hanya di dunia tapi hingga akhirat kelak.

Semua modal menulis kita dari Allah swt. Usia, kemampuan menulis, kemampuan berpikir, ide dan gagasan dari sekitar, harta untuk menerbitkan karya dan sebagainya, semua milik dan dari Allah swt. Maka jadikan juga tujuan menulis itu Allah swt pula.

Jika tulisan dikritisi jangan cepat tersinggung, jadikan itu masukan untuk membuat tulisan kita lebih baik lagi kedepan. Tidak ada tulisan yang sempurna dan lepas dari kekurangan karena ia bukan kitab suci.

Kunci produktifitas itu tingkat kepekaan dan kepedulian yang akan mendapatkan banyak ide dan inspirasi menulis. Kunci buku bestseller ketika isinya realite (sesuai dengan kenyataan) dengan keseharian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me