Langsung ke konten utama

125 [FILOSOFI TELUR GORENG KECAP]

 


Di kantin Asrama mahasiswa Universitas Teknologi Sumbawa saya mengenal sosok Bi Ena penjaga tempat makan penghuni yang berada dilantai 1 Gedung Asrama Putra. Menu andalan saya telur ceplok atau dadar dan nasi panas, sekali dua kali saya goreng sendiri. Sensasinya luar biasa nikmat bila dengan kecap manis. Beberapa kali Bi Ena bingung bila saya tanya, "Berapa semua yang saya makan Bi?". Soalnya sama-sama tau saat itu harga telur mentah cuma Rp.1.500/butir. Dari pada kelamaan lihat wajah bingungnya saya rogoh kantong lembaran lima ribu untuknya.
Saya ingat tetangga waktu sebelum SD dulu di Bekasi. Mereka lima bersaudara. Suatu waktu menggoreng sebutir telur untuk makan siang oleh si sulung mereka yang enam tahun diatas saya. Telur dibuat tipis hampir memenuhi wajan. Setelah matang dipotong enam untuk kami makan, tak ketinggalan memberi kecap manis diatasnya. Nikmatnya jangan ditanya.
Saat SMA jika pagi saya dari rumah selalu dibungkusi ibu nasi dan telur goreng. Agar ketika nanti siang makan di kos tidak repot dan hemat uang saku. Bungkus kertas nasi itu akan dibuka didampingi kecap manis sachet untuk teman telur goreng tersebut.
Saya yakin teman-teman sekalian punya cerita yang lebih seru dan unik lagi dengan telur goreng kecap seperti menu saya diatas dalam beragam rentang usia, berbagai tempat dan berbeda kondisi.
Secara pribadi ada filosofi telur goreng kecap yang saya rasakan dan alami. Murah dan mudah didapat , sederhana disajikan, bergizi karena berprotein pastinya, dibagi berapapun saat makan bersama akan cukup, mau dihidangkan kapan waktu dan dimana saja selalu pas dan tak membuat diri kuno alias jadul.
052/365
20022023, 19:01
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me