Para pendahulu kita dimasa silam dengan keterbatasan yang ada, memiliki semangat dan karya literasi yang sangat kuat dan dahsyat. Belum ditambah lagi kehidupan saat itu masih terjajah. Diantara mereka memanfaatkan pengasingan dan penjara sebagai tempat merenung dan ruang berkontempelasi menulis dan menelurkan ide-ide besarnya.
Pangeran Diponegoro pemilik nama lain Pangeran Antawirya selama ditahan atau diasing sejak tanggal 12 Juni 1830 hingga Juli 1933 di Benteng Manado Fort Nieuw Amsterdam Sulawesi Utara. Dalam masa pengasingan tersebut menulis Babad Diponegoro atau Babad Dipanagara. Babad Diponegoro merupakan naskah kuno yang berisi riwayat hidup dari Pangeran Diponegoro. Disebutkan pula Naskah ini merupakan biografi pertama dalam kesusastraan Jawa modern.
Babad Diponegoro berupa kumpulan puisi
(macapat atau puisi tradisional Jawa/tembang) setebal 1.170 halaman folio. Menggunakan
aksara Arab pegon (tanpa tanda baca) dan aksara Jawa. yang menceritakan sejarah
nabi, sejarah Pulau Jawa dari
zaman Majapahit hingga Perjanjian
Giyanti (Mataram), yang dituturkan langsung oleh Pangeran
Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis sejak Mei 1831 hingga Februari
1832. (https://id.wikipedia.org/wiki/Babad_Diponegoro)
Babad Diponegoro pada Juni 2013 oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) diakui sebagai Memori Dunia (Memory of the World (MOW), yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan budaya. Menurut sejarawan Peter Carey, Naskah asli Babad Diponegoro sudah hilang. Yang ada hanya salinan yang saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional dan di Rotterdam, Belanda.
Babad Diponegoro yang ditulis oleh Pangeran Diponegoro ternyata bukan satu-satunya ternyata, ada beberapa Babad Diponegoro lainnya menurut versi penulisnya sebagaimana ditulis dalam oleh Ust Salim A Fillah pada akhun twitternya @salimafillah “Generasi Diponegoro literasinya kuat. Selain Babad Diponegoro (BD) Manado, ada BD Keraton Surakarta, BD Keraton Yogyakarta, BD Suryongalam, BD Kedung Kebo. Naskah keluarga ada; BD Mangkarawati (Ibu), BD Ratnaningsih (istri); dan inilah salah satu BD tertebal; 8 jilid Gondokusumo. Wah saya benar-benar baru tau.
Selain Babad Diponegoro tersebut, Diponegoro juga menyusun buku Hikayat Tanah Jawa (https://www.solopos.com/jejak-pangeran-diponegoro-di-solo-persembunyian-5-hari-di-pasar-kliwon-1028197) yang ditulis saat pengasingan di Benteng Fort Rotterdam Makassar sejak juli 1833 hingga 8 Januari 1855. Namun, menurut sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Diponegoro Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah Primbon, yakni tentang pengaruh Qadariyah dan Naqshabandiyah (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan Jawa.
Penangkapan secara licik oleh Belanda terhadap Pageran Diponegoro seperti sebuah titik berhijrah dari perang fisik menjadi perang intelektual (Literasi tulisan). Dahsyat sekali para pendahulu kita menggunakan tulisan sebagai senjata perjuangan dan sarana pewarisan nilai.
026/365
Rumah Merpati 22
25012023, 17:06
#MariBerbagiMakna
#InspirasiWajahNegeri #IWANwahyudi #reHATIwan #30haribercerita #30hbc23
#30hbc2325 #30hbc23barutau
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1
@30haribercerita
Komentar
Posting Komentar