Sebelum pandemi, lebih tepat lagi sebelum era tahun 2000an belajar atau berguru yang kita kenal hanya diruang formal dan informal. Berguru di institusi pendidikan, tempat kursus dan pelatihan, bimbingan belajar dan les privat, guru ngaji dan TPQ (Tempat Pendidikan Qur'an) juga pesantren. Kemudian era online semakin membumi dan meluas hingga pelosok saat pertemuan tatap muka berganti dengan daring selama pandemi covid-19.
Seminar, talkshow, workshop, kelas belajar singkat hoby atau keahlian, diskusi keilmuan dan lain-lain dengan informasi yang cepat hampir setiap hari bahkan waktu bisa diikuti. Berguru tak lagi membutuhkan tempat, tapi cukup ada medianya. Saya jadi teringat filosofi Ki Hajar Dewantara, yang banyak dikutip orang, bahwa “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah."
Kemudian berguru tidak lagi ada dikotomi harus dari yang lebih tua. Tapi bisa pada siapa saja, baik setara dengan yang seusia atau pada yang lebih muda sekalipun. Selama ada kebaikan yang bisa didapat dan ditularkan, kita bisa berguru padanya. Termasuk pada semesta dengan segala pembelajaran dan hikmah dari siklus kehidupan yang terus berjalan. Termasuk dengan buku yang menjadi bacaan selama mengandung ilmu dan kebaikan. Sebagaimana kalimat yang dipopulerkan pegiat pendidikan Roem Topatimasang, "Setiap tempat: sekolah. Setiap orang: guru. Setiap buku: Ilmu."
Dari kebaikan kita dapat berguru tanpa batas waktu, tanpa tersekat tempat dan tanpa dikotomi status sosial apapun.
Rumah Merpati 22
26122022, 19:54
@inspirasiwajahnegeri @iwanwahyudi1 @gerimis30hari
Foto : video call berjam-jam berbagi ilmu dan bertukar pengalaman menulis
Komentar
Posting Komentar