Langsung ke konten utama

[MERDEKA ?]

 


"Kalau ada kata malang bagi nasib selain manusia, itulah kata malang bagi nasib kemerdekaan, makhluk yang selalu dirindukan sebelum bertemu dan disia-siakan setelah tergapai. Kemerdekaan yang diperjuangkan para martir, beberapa tahun kemudian jatuh lagi ke tangan para penjajah, dengan cara dan tampilan lain." (KH. Rahmat Abdullah 1953-2005)
Jika bisa berandai mungkin salah satunya ialah jika para pejuang dan pendiri bangsa bisa hidup dan hadir kembali saat ini, " Apa yang akan mereka katakan melihat bangsa saat ini?". Kekhawatiran atas masa depan bangsa dengan berat dan kompleksnya tantangan dan hambatan yang membenturnya dikemudian hari itu yang membuat sang proklamator Ir. Soekarno mewanti-wanti, "Perjuangan kami berat karena melawan penjajah, tapi perjuangan kalian akan lebih berat lagi karena menghadapi bangsa sendiri."
Seakan ada sekat antara heroisme kisah para pahlawan kemerdekaan dengan panggung-panggung peringatan tujuh belasan. Ada jurang yang di ciptakan -entah disengaja atau tidak- antara keteladanan para pendiri bangsa yang patriotik dengan tayangan layar kaca yang menyuguhkan perilaku para oknum abdi negara dan oknum pemimpin tanpa malu mencerminkan tabiat para penjajah.
Jauh sekali bias yang terlihat dan rasa yang tercicipi antara para pejuang kemerdekaan dengan parade kepongahan hari ini. Bisa kita bayangkan bila merenungi seperti apa wajah manusia-manusia berikutnya yang akan dihadapi bangsa ini dengan peribahasa, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari'. Pintu perubahan itu selalu terbuka, ruang perbaikan itu selalu ada. Namun harus segera membenahinya dari sekarang dengan serius bukan hanya seremonial rutinitas tanpa nilai.
Semoga ungkapan -lebih pas pesan kekhawatiran- KH. Rahmat Abdullah ini tak benar adanya, " Ada pekik merdeka. Tetapi semangat pekiknya telah layu oleh hedonisme, pengkhianatan dan kebodohan."
Rumah Merpati 22
13082022, 19:52
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me