Langsung ke konten utama

[BUKU DISAAT MENUNGGU]


"Sudah istirahat dulu baca bukunya", teguran itu selalu terdengar sejak saya Sekolah Dasar atau sesekali saat saya berlibur pulang kampung. Makin ke kinian ada satu kalimat lagi yang beliau ucapkan, "Sudah berhenti dulu duduk depan laptopnya". Ucapan pertama juga sering terlontar saat mendampingi dan menungguinya saat sakit -termasuk di Rumah Sakit- sepanjang tahun 2016. 
Umi, panggilan saya pada almarhumah sejak kepulangannya menunaikan ibadah haji tahun 1996, memang beda. Jarang -jika tak ingin disebut tidak pernah- menyuruh saya membaca. Saya sendiri hampir tak ingat kapan almarhumah menyuruh saya membaca?, kecuali meminta saya membaca tanggal kadaluarsa pada kemasan makanan. 

Salah satu waktu luang untuk melahap dan menghabiskan buku ialah ketika menunggu. Setidaknya itu pengalaman saya. Menunggu saat menjemput seseorang saat di bandara atau terminal, menunggu kapal laut saat menyeberangi lautan dan menyandar di pelabuhan, menunggui orang sakit ketika tidur, menunggu antrian dan prosesi service motor juga antrian lainnya, menunggu sembuh alias sedang sakit atau pemulihan dan sebagainya. Jika orang ada yang mengatakan "menunggu adalah waktu yang membosankan dan menyebalkan", saya coba membunuhnya dengan membaca buku salah satunya. 

Memang sekarang aktifitas membaca buku kian terduakan dengan membaca media sosial. Namun, banyak hal dari buku yang tak mampu tergantikan walaupun banyak informasi didapat dengan cepat melalui smartphone dalam genggaman. Salah satu cara agar kesukaan membaca buku tak menipis dan dirampas oleh godaan media sosial adalah dengan membawa buku tebal kemana-mana, "Biar kalo ada waktu dikit bisa baca beberapa halaman. Masa bawa buku tebal cuma ditenteng gaya aja, tapi yang dibuka dan dibaca Handphone/HP terus", kata bu guru suatu waktu. 

Setiap orang punya cara dan waktu bermutunya sendiri untuk membaca dan mengunyah buku. Dimana membaca dengan penuh bahagia, berbeda dengan membaca saat dikejar deadline mengerjakan PR atau tugas kuliah he... he... 

Buku "Kalam Pecandu Buku" karya bang Yusuf Maulana setebal lebih 450 halaman pagi ini sengaja saya bawa untuk dilahap sedikit sedikit, hitung-hitung nyicil. Walaupun terbitan sebelumnya berjudul "Nuun: Berjibaku Mencandu Buku" yang terbit Juli 2019 sudah lama saya khatamkan. Tentu dengan buku sebelum sangat banyak penambahan baik jumlah halaman, tulisan baru dan pengayaan atas tulisan lama, nah ini yang membuat saya penasaran untuk mengkhatamkan edisi baru yang terbit Agustus 2021 lalu ini. 

18072022
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me