Langsung ke konten utama

[NOSTALGIA BERITA CIGANJUR]

Saat peristiwa ini saya belum beralmamater. Saya menontonya di berita televisi juga koran yang selalu terlambat sehari bisa membacanya diperpustakaan sekolah. Maklum saat itu berita hari ini baru terbit dikoran besok dan masuk perpustakaan lusa. Kok lusa? Iya mas, kami di NTB jadi lama pengirimannya. 

Kembali ke peristiwa Ciganjur ini. Saya merasa senang ketika para tokoh bangsa pro reformasi dan demokrasi ini berkumpul dan membahas langkah-langkah pasca reformasi. Karena perjuangan bukan sampai menurunkan tirani, tapi mengisinya. Harapan sangat besar itu tentu bukan dari saya saja, namun semua anak bangsa yang merindukan perubahan yang berkelanjutan. 

Berharap mereka mengantarkan, mengisi, menjaga dan mewarisi perubahan yang lebih baik bagi negeri ini kedepannya hingga berpuluh bahkan ratusan tahun. Karena mereka telah merasakan susah dan pahitnya hidup dalam tirani kekuasaan yang otoriter bernama orde baru saat itu. Selama mereka ada negeri ini lebih baik. Begitu harapan saat itu. 
Abang dan kakak mahasiswa angkatan 1998 tentu juga memiliki perasaan dan harapan yang tak jauh beda seperti diatas, bahkan nanti lima atau sepuluh bahkan dua puluh tahun kemudian akan bermunculan generasi 98 ini pada panggung politik dan kepemimpinan Indonesia di pusat maupun masing-masing daerah. 

Allah mentakdirkan saya, empat tokoh di atas, para aktivis reformasi 1998 dan rakyat Indonesia yang menyaksikan reformasi kala itu masih hidup hingga hari ini. Dapat merasakan ruh reformasi itu apakah masih hidup? Suluh perjuangan merubah negeri menjadi lebih baik apakah masih terjaga? Kondisi rakyat masih semenderita dulu, lebih baik atau bahkan terjun bebas mengalahkan 1998? 

Silahkan menjawabnya sendiri, masing-masing orang punya penilaian berdasarkan rasa dan seleranya, metode dan parameternya, kepekaan hati dan rasionalitas kepalanya. 

Cuma satu yang saya yakini, mereka yang paling tulus akan menjaga langkahnya di saat berjuang, berkuasa bahkan menjadi orang biasa kembali. Mereka tetap berjuang membawa suluh itu ditengah sepi atau hiruk-pikuk bahkan gegap gempita dinamika jaman. 

Saya sedang nostalgia penggalan berita saat itu. Apakah keempat tokoh (minus Gus Dur yang telah lebih dahulu dipanggil oleh-Nya) ini tidak rindu duduk bersanding kembali bertiga? Saya juga sudah tidak ingat kapan mereka pernah duduk bersama lagi, saking lamanya. Untuk sekedar menikmati secangkir teh sambil bernostalgia peristiwa menjelang reformasi, ketika reformasi dan beberapa waktu setelahnya. Sesekali menatap pemilu 2024 nanti dengan mimpi-mimpi mereka dan rakyat ketika reformasi 1998 silam.

Rumah Merpati 22
18032022 16:48
#MariBerbagiMakna #InspirasiWajahNegeri #reHATIwan #InspiringWords #MelawanDenganDamai #IWANwahyudi 
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me