Langsung ke konten utama

[MENANGIS, AH... LEMAH]


"Tangis yang dibenarkan ialah jika berasal dari suara hati karena dorongan iman, lalu diwujudkan dengan tindakan." (Abu Abdirrahman rahimahullah)

Kapan terakhir kali kita menangis? 
Ini bukan perihal cengeng atau siapa yang tahan banding menghadapi cobaan hidup. Ini bukan masalah usia apakah anak kecil, dewasa atau orang tua dalam meneteskan air mata. Bukan juga mana yang paling tabah antara laki-laki atau perempuan. Bukan pula posisi penguasa atau rakyat yang pandai menyembunyikan kesedihan karena ksatria, pecundang atau pencitraan. 

Tangisan dapat mewakili simbol kepasrahan. Titik klimaks dikala segala daya dan ikhtiar harus berhadapan dengan takdir yang dinanti. Apakah seperti harapan atau ada jalan lain yang IA berikan tanpa disangka-sangka. Menakar kedalaman dan keluasan hati akhirnya. 

Menangis bukan berarti lemah, tapi karena memiliki hati. Para orang-orang sholeh, seperti khalifah Umar bin Khattab misalnya yang terkenal sebagai jawara ketika sebelum masuk Islam sangat mudah menangis saat kepekaan hatinya tersentuh. Apalagi kita yang belum seujung kuku mereka dalam hal menghadapi ujian, level keimanan dan keunggulan amal. 

Jika kita sering berair mata buaya dalam menipu daya sesama, pandai menghadirkan tangisan agar terlihat lebih drama, mengumbar isak palsu sekedar mempermainkan emosi dan perasaan massa. Bisa jadi kita pada titik kritis dan akut dimana tidak lagi bisa membedakan mana tangis yang berasal dari dalam hati dengan air mata nafsu belaka.

Rumah Merpati 22
20012022 03:34
#30HariBercerita #30hbc2220 #InspirasiWajahNegeri #MariBerbagiMAKNA #reHATIwan #IWANwahyudi 
@inspirasiwajahnegeri 
@iwanwahyudi1 
@30haribercerita

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me