Langsung ke konten utama

[REFLEKSI]

Setiap pergantian waktu adalah tempat kita menghitung ulang. Menghitung keberhasilan dan kekurangan terhadap perencanaan, aksi, harapan dan tahapan cita-cita. Keberhasilan tak meninggikan hati, kegagalan tak mematahkan segala impian.

Akhir Desember bagi saya ada 2 ujian musibah yang secara pribadi ini sentilan dari-Nya yang harus senantiasa menjadi alarm pengingat untuk merefleksi diri.

26 Desember 2004 Tsunami Aceh, saat itu saya lebih awal tiba di Universitas Brawijaya Malang dg harapan sebelum acara Refleksi Akhir Tahun saya banyak sharing dan belajar dari Presiden BEM UB Trio Aguspurwono. Dan berita Tsunami Aceh saya terima di Malang, dan yang membuat gelisah adalah bagaimana kondisi teman-teman BEM Unsyiah yang dijadwalkan hadir dan diharapkan menjadi salah satu pembicara mewakili pulau Sumatera. Singkatnya setelah berhari-hari putus komunikasi akhirnya tersambung dan selamat, salah satu agenda yang disiapkan BEM SI pasca tsunami adalah KKN (kuliah kerja nyata) Recovery Tsunami Aceh.

21 Desember 2016 Banjir bandang terbesar sepanjang sejarah bima menerjang Kota Bima kampung halaman saya, 100.000 warga mengungsi. Semua energi anak NTB dibantu saudaranya didaerah lain berjibaku bersatu memberikan bantuan, dan akhirnya badai itu bisa dilalui dan masyarakat bangkit kembali. 

Bagi saya dua hal ini sudah cukup sebagai pengingat, agar ruang refleksi harus hadir walau sedikit dalam banyak waktu yang di anugerahkan-Nya secara gratis pada kita. Dan setiap musibah bukan sekedar lintasan peristiwa yang lalu lalang, tapi memiliki kekuatan makna dan pesan bagi mereka yang berpikir dan memiliki hati.

26122017 07:38 kamar 1A5
IWAN Wahyudi
#MariBerbagiMAKNA
#InspirasiWajahNegeri
#KomunitasGerimis
www.iwan-wahyudi.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me