Langsung ke konten utama

[NOSTALGIA DI TEKNOLOGI PERTANIAN]

Sabtu pagi (21/09/2019) saya diundang oleh adik-adik BEM Fateta dan Panitia Resfak Fateta UTS untuk memberikan sambutan di pembukaan acara Resfak tersebut. Teknologi Pertanian punya ruang tersendiri bagi saya jauh sebelum saya ke UTS. Saat di UTS ada Teknologi Pertanian dan berinteraksi dengan para dosen dan Mahasiswanya terasa bukan sesuatu yang asing malah mengembalikan file-file nostalgia.
Saat pembukaan dan penyamatan papan nama peserta di dampingi Dekan Fateta UTS drh. Samuyus Nealma, M.Vet.

Saat sambutan, saya memotivasi mahasiswa baru tentang bintang yang kita lihat bersinar saat menatapnya dari bumi bukan peristiwa yang instan. Cahaya bintang harus terlebih dahulu melewati jarak yang tak dekat dan waktu yang lama dari sumbernya sinar matahari ke bintang kemudian dipantulkan kebumi baru sampai ke mata kita. Begitu pula kehidupan dan cita-cita kita, jika ingin lebih bercahaya dan cemerlang dibandingkan bintang lainnya perlu waktu, pengorbanan, proses dan perjuangan yang tak mengenal lelah dan putus asa hingga pada titik dimana bisa dilihat oleh manusia dan semesta.
Teknologi pertanian juga mengubah nilai ekonomi dan nilai manfaat dari hasil pertanian yang selama ini hanya dijual apa adanya dengan harga yang biasa-biasa saja. Peran meningkatkan kesejahteraan petani tak lepas dari alumni dan sarjana Teknologi Pertanian kedepan. Anak teknologi pertanian harus mencintai Laboratorium dengan semua komponennya karena akan banyak dosanya termasuk tugas akhirnya.
So, selamat memulai catatan hidup sebagai mahasiswa. Menyicil sedikit demi sedikit cahaya yang akan membawa menjadi bintang yang paling bersinar, cemerlang dan mempesona semesta.

21092019
#IWANwahyudi 
#MariBerbagiMakna 
#InspirasiWajahNegeri #reHATIwan 
@iwanwahyudi1  @ Universitas Teknologi Sumbawa - UTS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me