Langsung ke konten utama

[LITERASI ILMIAH]

Saat SMA (masa kami SMU sebutannya) dulu saya kecantol dengan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) salah satu ekskul di SMUN 1 Raba (SMAN 1 Kota Bima sekarang). Diantara teman-teman sekelas yang pada berebut masuk IFO, IMO, ICO dan IBO (ekskul olimpiade Fisika, Matematika, Kimia dan Biologi). Alasannya sederhana ekskul ini namanya kece dan ilmiah itu kesannya intelek. 

Dilevel sekolah KIR, sedang forum ditingkat Kabupaten Forum Ilmiah Remaja (FIR) namanya. Walau anak IPA saya sempat buat karya tulis ilmiah Temannya Demokrasi dalam upacara Tuha ro Lanti (pelantikan sultan Bima) di Kesultanan Bima, saya lupa jadi dikirim ke lomba atau tidak waktu itu. Tapi di lomba yang lain tingkat provinsi, saat kelas III saya meraih juara III lomba essay pelajar tingkat SMA se-NTB. Saat kuliah sempat mau ikut dan sudah mulai buat kelompok pasca pelatihan, tapi urung ikut PKM.

Saat di Kemahasiswaan kampus sekarang saya menemukan ruh literasi ilmiah seperti saat SMA dulu ketika melihat para mahasiswa bersemangat ikut kompetisi-kompetisi ilmiah seperti PKM, PHBD, LKTIQ dan sejenisnya. Disini bersenyawa antara energi cendekia muda, semangat pewarisan ilmiah para dosen pembimbing dan ruang yang banyak disediakan oleh pemerintah dalam hal ini Dikti. Sehingga hampir tak ada alasan bagi para tunas bangsa mengasah dirinya sejak dini.

Foto : Para Pimpinan Universitas dan Dekan UTS melepas Rombongan tim PKM.

17072019
#IWANwahyudi 
#MariBerbagiMakna 
#InspirasiWajahNegeri #reHATIwan 
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me