Usai tilawah Al Qur’an pagi ini, saya mencoba membaca dan merenungi terjemahan ayat terakhirnya, “ Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ (pamer) kepada manusia dan dia tidak berima kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu di timpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)
Pada dasarnya kita memberi itu ingin berbagi kebahagiaan. Bahagia bagi pemberi dan perasaan bahagia yang sama saat menerimanya. Bukan semata transfer atau berpindahnya materi atau benda yang diberikan/diterima, tetapi ada getaran dan perasaan yang juga turut mengalir dalam proses tersebut.
Saat bersedekah dan memberi sebaik-baiknya ialah yang tak harus berbunyi. Bukan karena ingin disebut nama kita sebagai penyumbang atau ada nominal yang diumumkan pada khalayak ramai. Bukankah kita dianjurkan saat tangan kanan memberi, tangan kiri tak harus tau dan mempublikasikannya?.
Memberi dan bersedekahpun harusnya dengan perasaan bahagia dan tidak ada paksaan. Tak ada yang mengganjal dihati atau udang dibalik batu, maksud tersembunyi yang kemudian akan menyakiti perasaan siapapun yang menerimanya. Bukankah diantara kedua belah pihak harus saling meridhoi, karena Allah memberi sedekah dan karena Allah pula menerimanya.
Bila kita bersedekah mari kembali meraba hati kita seberapa besar yang terasa oleh perasaan, bukan seberapa besar jumlah nominal atau takaran matematika semata.
29042020
#EnergiRamadhan
#MariBerbagiMakna
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1
Komentar
Posting Komentar