Langsung ke konten utama

BELAJAR tak mengenal BATAS dan JEDA

Beberapa orang mungkin membatasi bahkan mempersempit aktifitas belajar hanya sekedar pada kegiatan pendidikan formal diruang-ruang kelas dan berujung pada selembar kertas bernama ijazah atau sertifikat. Jika definisi ini yang dipakai maka Belajar hanya memiliki jangka waktu yang terbatas, paling lama sepanjang waktu yang dilalui seseorang memperoleh gelar Profesor atau Guru Besar. Bila pengertian belajar seperti diatas maka hanya segelintir manusia yang dapat mengenyamnya (ada diskriminasi pembelajaran), yaitu mereka yang memiliki kesanggupan finansial membayar kegiatan-kegiatan formal didalam kelas semata.

Padahal di sisi lain bumi dan kehidupan yang dilalui semua anak manusia sejak ia dapat berpikir untuk belajar hingga maut menjemput adalah bentangan sarana pembelajaran, baik berupa pendengaran, penglihatan, pengecapan, rasa dan sebagainya. Betapa berserakan dan beragamnya ilmu serta pengalaman yang terpintas setiap harinya oleh kita semua sebagai anugerah pembelajaran bagi siapa saja yang berpikir.

Belajar dalam segala arti yang terkandung didalamnya tak mengenal batas teritorial, status sosial, tingkat ekonomi, jenjang usia dan sejenisnya dan ia juga tak mengenal waktu jeda hingga kita sendirilah yang lelah untuk memetik beragam ilmu dan buah pembelajaran tersebut.

Mari berbagi makna dan terus belajar dari apapun disekitar kita, karena kita tak tau bekal ilmu yang mana yang saatnya nanti kita butuhkan untuk menyelesaikan setiap etape kehiduapan yang kita lalui.

Jl.Swakarya Kekalk Mataram 
13 Maret 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[KARTINI]

KARTINI, banyak sejarah kehidupannya yang kadang "digelapkan" oleh rezim yang pernah berkuasa di negeri ini. Kartini (1) Sejarah yang ditulis penguasa telah menunggangi pemikiran2 kartini untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita2 murni kartini. Kartini (2) Betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai kartini. Kartini (3) Kekritisan kartini talah terlihat sejak kecil ketika kebiasaan tempo dulu untuk memanggil guru ngaji ke rumah  untuk mengajar membaca dan menghafal al-qur'an tidak disertai dengan terjemahan,kartini tidak bisa menerima hal tersebut. dia menanyakan makna ayat2 yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, malah sang guru memarahinya. Kartini (5) Kyai sholeh kemudian tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an kedalam bahasa jawa. Di hari pernikahan kartini kyai sholeh menghadiahinya terjemahan  Al-Qur'an ( Faizhur Rahma...

[MENOLAK TAKLUK]

Jenderal Soedirman pastinya tau benar akan penyakit komplikasi Tuberkulosis yang merusak paru-parunya dan ia bawa bergerilya keluar masuk hutan hingga harus ditandu naik turun bukit. Saya yakin setiap dokter akan menyarankannya Istirahat. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Soekarno juga bukan orang yang tidak mengerti akan penyakitnya saat menolak operasi ginjal. Namun ia tetap memilih masih menjalankan pemerintahan republik  padahal iya mengalami hipertensi yang dipengaruhi ginjalnya, ginjal kiri tidak berfungsi maksimal sedang fungsi ginjal kanan tinggal 25%. Ada juga penyempitan pembuluh darah jantung  pembesaran otot jantung bahkan gejala gagal jantung. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? RA Kartini tak berhenti berjuang lewat literasi dengan berkorespondensi walau ia kemudian mengalami pre-eklampsia (tekanan darah tinggi saat kehamilan, persalinan atau nifas) saat melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Pernahkan ki...

[SURAT JURU BICARA LISAN DAN HATI]

Setelah mengundurkan diri dari posisi wakil presiden mendampingi Soekarno akibat perbedaan pandangan, bukan berarti membuat hubungan Hatta dengan pasangan dwi tunggalnya itu benar-benar terputus. Persaudaraan dan persahabatan diantaranya tetap berjalan, salah satunya Hatta masih menulis surat-surat masukan pada presiden Soekarno, selain tulisan-tulisannya di koran. Entah apakah surat itu dibaca atau diterima pesan didalamnya. 1902, perempuan 23 tahun ini banyak menuliskan perasaan dan pikiran keseorang wanita dibenua Eropa nun jauh dari Indonesia. Korespondensi mereka tak kurang dari 115 pucuk surat yang kemudian dihimpun menjadi buku "Habis Gelap Terbitlah Terang". Mereka berdua adalah RA Kartini dan Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, agama dan industri Hindia Belanda. Banyak orang yang tidak dapat mengungkapkan perasaan dan masukan secara langsung pada orang lain, hingga diperlukan media pesan dengan secarik kertas. Surat, sebuah saksi pera...