Kantor Pos, bagi sebagian besar generasi Z (gen Z) sepertinya kalah bersaing dengan berbagai perusahaan ekspedisi yang menjamur dan siap mengantar paket hingga hari Minggu sekali pun. Hingga tahun 2004 saya masih menjadikan kantor Pos sebagai sarana mengirim surat. Iya menulis surat pada orang tua. Maklum saat itu menjadi mashasiswa di tanah rantauan.
Ada tiga kantor Pos yang setidaknya mewarnai sebagian sejarah hidup saya. kantor Pos Uma Me'e (sekarang kantor Pos Belo, kecamatan Palibelo), kantor Pos Jl. Soekarno-Hatta (Timur SMAN 1 Kota Bima) dan kantor Pos Unram/Universitas Mataram (samping lapangan atletik Lawata, Mataram). Untuk yang terakhir memang demikian nama kantor pos nya KCP Mataram-Unram.
Dalam sejarah Indonesia, kantor Pos pertama didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 26 Agustus 1746, oleh Gubernur Jenderal G.W Baron van Imhoff dengan tujuan untuk lebih menjamin keamanan surat-surat penduduk, terutama bagi mereka yang berdagang dari kantor-kantor di luar Jawa dan bagi mereka yang datang dari dan pergi ke Negeri Belanda.
Kini kantor pos yang dulu ada di seluruh kecamatan di Indonesia, harus mampu beradaptasi dan berinovasi untuk bersaing dengan perusahaan ekspedisi lainnya. Walaupun perusahaan BUMN dan lebih awal memiliki sarana penunjang, jika pelayanan jauh bersaing dengan swasta, bersiaplah untuk kehilangan banyak pelanggannya.
Kantor pos bagi saya juga indentik dengan surat. Yah, menulis tangan surat menjadi sebuah aktivitas sejak SMP bagi saya. Dulu ada kartu pos semacam kartu ucapan selamat Idulfitri/lebaran yang dikirim untuk keluarga dan sahabat. Saat SMA ikut acara yang diadakan kantor Pos dan mulai menulis surat pada sahabat pena. Sebuah aktivisme berkenalan dengan cara mengirim surat pada sahabat di seluruh Indonesia yang biodatanya telah disediakan dalam buku sahabat pena oleh kantor pos. Saat SMA, terjadi Reformasi di negeri kita dan pelaksanaan pemilu pertama 1999. Saya mengirimkan surat pada beberapa tokoh nasional, dan salah satu balasan resminya dari Prof. Yusril Ihza Mahendra dengan kertas surat berkop Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI.
Aktivisme menulis surat kini tergeser oleh layanan pesan digital melalui media sosial. Dengan bahasa yang singkat dan kadang “krisis” kesantunan dalam berinteraksi. Dari menulis surat ini saya mendapatkan banyak manfaat.
Pertama, meningkatkan keterampilan menulis dan berkomunikasi. Menulis berarti kita memilih kata dan menyusun kalimat hingga pesan dapat sampai dan dimengerti oleh tujuan. Berani mengungkapkan dan menyampaikan sesuatu pada orang lain.
Kedua, melatih kesantunan dan membangun hubungan. Di sekolah kami diajarkan sistematika menulis surat, kalimat-kalimat pembuka dan menyapa hingga penutup surat. Dari sana adab dan kesantunan berkomunikasi tertanam hingga dapat membuka dan mempererat hubungan. Tau menempatkan bahasa dan kata yang ditulis bagi lawan bicara yang seusia, lebih tua dan lebih muda.
Ketiga, menjadi arsip yang otentik. Surat-surat tulisan tangan menjadi lembaran yang memiliki nilai sejarah yang orisinal, asli dan paten. Keasliannya tak perlu dipertanyakan, karena sudah tulisan tangan langsung, juga dibubuhi tandatangan asli.
Dari kantor pos dan surat tulisan tangan, kita harus banyak belajar. Untuk bertahan butuh adaptasi dan inovasi. Agar eksis, adab dan kesantunan merupakan nilai mata uang yang diterima oleh siapa pun.
#MariBerbagiMakna #reHATIwan #reHATIwanInspiring #MemungutKataKata #Gerimis30Hari #Gerimis_Juni25_14 #Surat #KantorPos #Kampus #IWANwahyudi
@gerimis30hari @ellunarpublish_ @rehatiwan @rehatiwaninspiring
www.rehatiwan.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar