Saya menjadikan azas hemat uang jajan atau uang saku sebagai alasan buka puasa bersama alias bukber. Setidaknya itu berlaku dari SD hingga kuliah.
Waktu SD yang saya tempuh 6 tahun, cuma sekali ikut bukber di sekolah. Sederhana alasannya, dua kali ke sekolah dan dua kali keluar uang saku naik angkot karena paginya sekolah normal. Dan bukber di rumah lebih nikmat dan khidmat walaupun menu sederhana bersama keluarga. Gratis lagi.
Enam kali Ramadhan selama SMP dan SMA, tak sekalipun saya ikut bukber di sekolah. Lagi-lagi hitungannya uang bukber jauh lebih mahal dibanding biaya masak sendiri di kos buat berbuka. Sederhana atasnya, hemat.
Kalau kuliah beda lagi, ikut bukber bukan sebuah pemborosan, tapi langkah hemat uang saku. Undangan bukber dari tingkat program studi, jurusan, dekanat hingga universitas yang dilaksanakan oleh kampus seperti berstempel "wajib" dihadiri. Selain gratis juga perbaikan gizi bagi kami anak kos. Iya gak sih? . Apalagi undangan bukber dari pejabat. Pasti jadi prioritas bagi aktivis.
Nah, bukber akan mulai beda orientasinya saat sudah berpenghasilan. Nuansa nostalgia dan reuni lebih dikedepankan. Mulai dari bukber alumni SD, SMP, SMA, Angkatan Kuliah, Kelompok KKN, Organisasi, Komunitas dan sebagainya.
Saya akhirnya berkesimpulan, bukber itu tergantung niat dan kondisi masing-masing orang. Ini yang perlu diperhatikan oleh pihak penyelenggara bukber. Bukan hitung-hitungan berapa jumlah kolektif calon peserta bukber.
Karena saya pernah punya pengalaman inisiasi acara bukber alumni. Dipinggir pantai dan menu nasi lalap ayam dengan uang urunan masing-masing satu porsi. Eh yang senang mereka datang bawa pasangan dan para bocilnya banyak. Modal uang satu porsi bisa dapat bukber sekeluarga sampai 5 porsi. Panitia yang bangkrut.
Rumah Merpati 22, 12 Maret 2025
#ceritaramadanku2512 #MariBerbagiMakna #MemungutKataKata #IWANwahyudi #EnergiRamadan
#JelajahRamadan #reHATIwanInspiring
@sobatnulis.ig @rehatiwaninspiring
www.rehatiwan.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar