Sultan Abdul Khair Sirajuddin bergelar
Ruma Ta Mantau Uma Jati lahir dilingkungan istana
Kesultanan Makassar pada bulan Ramadan 1038 H (± April 1627 M). Disamping itu beliau diberi gelar “La Mbila”.
Para prajurit Gowa memanggilnya “I Ambela”.
Beliau
adalah Sultan ke II Kesultanan Bima. Putra dari Sultan Abdul Kahir I dengan
permainsurinya Daeng Sikontu, adik permainsuri Sultan Alauddin Makassar.
Dalam kitab
Bo (naskah lama Bima) namanya “Abil Khair Sirajuddin”, tapi pada bagian lain
sumber yang sama ditulis “Abdul Kahir Sirajuddin”. Sejak usia kecil ia
memperoleh pendidikan agama, ilmu politik pemerintahan juga ilmu perang di
lingkungan istana Makassar. Dimana saat itu orang tuanya “berhijrah” sementara
ke Makassar dari konflik yang terjadi di Kerajaan Bima.
Ia
dilantik menjadi “Jena Teke” (putra mahkota) oleh Majelis Hadat sebelum ayahnya
mangkat pada 8 Ramadan 1050 H (22 Desember 1640 M). Menikah dengan “Karaeng
Bonto Je’ne” saudari dari Sultan Hasanuddin Makassar yang juga puteri Sultan
Malikul Said (Sultan Makassar II) pada 22 Rajab 1056 H (3 September 1646 M).
Pada
tahun 1647 bersama Karaeng Bonto Maranu Makassar bergabung membantu pasukan
Pangeran Trunojoyo Madura melawan Raja Mataram Amangkurat II yang sudah
menjalin kerjasama dengan Belanda.
Ketika
Belanda menyerang Makassar pada 6 Juni 1660, Sultan Abdul Khair Sirajuddin bersama
Panglima Perang Makassar Karaeng Popo ikut perang membantu Kesultanan Makassar
melawan Belanda dan berhasil memukul mundur penjajah tersebut.
Pada
perang Kesultanan Makassar melawan Belanda 1666-1667, Sultan Abdul Khair
diangkat oleh saudara sepupu yang juga iparnya Sultan Hasanuddin sebagai wakil
Panglima Perang Makassar mendampingi panglima perang Karaeng Bonto Maranu.
Sultan
Abdul Khair Sirajuddin bersama puteranya Nuruddin juga turut membantu
perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa Banten melawan Belanda. Di Banten Sultan
bertemu kembali dengan Karaeng Popo panglima perang Makassar.
Selain
ikut serta membantu kesultanan lain dalam melawan Belanda, Sultan Abil Khair Sirajuddin banyak melahirkan terobosan-terobosan
dan ide-ide baru dalam memajukan agama, politik, ekonomi dan sosial budaya di Kesultanan Bima.
Salah satunya untuk meningkatkan pemerintahan, beliau mengadakan penyempurnaan struktur “Lembaga Sara Dana Mbojo” menjadi “Majelis Lengkap”
dengan mendirikan Lembaga Sara Hukum. Sejak saat itu struktur pemerintahan
Kesultanan Bima terdiri dari “Sara-Sara” yang
di Pimpin Ruma Bicara (perdana menteri), “Sara
Tua” yang dipimpin oleh Sultan dan “Sara
Hukum” yang dipimpin oleh Qadi.
Pada
masanya naskah BO (naskah kuno Bima) peninggalan masa Kerajaan (sebelum Bima
menjadi Kesultanan) ditulis ulang dengan huruf arab melayu dan menjadikan huruf
arab melayu menjadi aksara resmi kesultanan.
Sultan
menetapkan tiga perayaan hari besar Islam sebagai “Rawi Na’e Matolu Kali Samba’a”
(Upacara adat besar yang dilaksanakan tiga kali setahun). Ketiga upacara
tersebut yaitu :
1.
Upacara
peringatan Maulid Nabi (Ndiha Molu) yang dilaksanakan pada “Wura Molu” atau “Bulan
Maulud” yakni pada tanggal 12 Rabiul Awal. Peringatan dimeriahkan dengan
upacara Ua Pua (Sirih Puan).
2.
Hari
Raya Idul Fitri (Aru Raja To’i)
3.
Hari
Raya Idul Adha (Aru Raja Na’e)
Sultan
Abdul Khair Sirajuddin wafat pada 17 Rajab 1091 H (22 Juli 1682 M). Beliau dikebumikan
di pemakaman Tolobali Bima, sebelah Utara Istana Kesultanan
Bima.
Rumah Merpati 22, 12 Maret 2025
#JelajahRamadan #jelajahramadhan #EnergiRamadhan #MariBerbagiMakna #MemungutKataKata #reHATIwan #rehatiwanisnpiring #IWANwahyudi
@rehatiwaninspiring @rehatiwan
Sumber Referensi :
Fahrurizki,
2019. Histografi Bima. Ruas Media. Yogyakarta
M. Hilir
Ismail, 2004. Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara.
Lengge. Mataram
M. Hilir
Ismail, 2006. Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima) (1540-1950). Penerbit
Binasti. Bogor.
M. Hilir Ismail
& Alan Malingi, 2018. Jejak Para Sultan Bima. Penerbit CV.
Adnan Printing
Iwan Wahyudi,
2020. Energi Ramadhan. Olat Maras Publishing. Sumbawa.
Sumber Foto Makam Sultan Abdul Khair Sirajuddin: gatra.com
Komentar
Posting Komentar