Satu-satunya keadaan yang memaksa seseorang berhemat dan berhasil adalah ketika uang telah menipis dan nyaris habis.
Kita akan rela bahkan mengurangi jatah makan, apalagi hal lain yang tingkat pentingnya tak segenting urusan kebutuhan paling pokok dan utama bernama makan.
Pada kondisi itu, betapa terasa dan berharganya uang 100 rupiah. Dalam kondisi biasa itu nyaris tidak masuk dalam hitungan, saking receh dan benar-benar recehannya.
Hemat sudah tak lagi pangkal kaya, tapi hemat menghindari melarat. Beda dengan hemat untuk menabung, pasti ada harapan kaya.
Saya masih ingat ketika masa mahasiswa menjadi panitia kegiatan seminar. Jika petugas acara seperti MC, moderator, pembaca do'a bahkan pembicara adalah dari internal organisasi, bisa dipastikan tidak ada amplop honor. Dapat nasi bungkus dan snack kota sudah Alhamdulillah. Tapi, jika itu dilaksanakan oleh pemerintah, jelas ada honornya lembaran warna merah bergambar dwi tunggal proklamator kemerdekaan RI. Bahkan jadi panitia saja sudah dapat. Bisa dobel dong, banget.
Berarti negara kita lagi begitu dong situasinya bang? Lagi boke alias kere bin dompet kosong. Persis, negara kita tetap kaya sumberdaya alamnya. Tapi kantong lagi kering. Belum lagi jatuh tempo tagihan hutang.
Kenapa bisa begitu? Apalagi kalau bukan boros saat berada. "Pesta-pesta" menghambur uang tanpa terkira.
"Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al Isra: 27)
Astaghfirullah.... besti nya setan berarti.
Rumah Merpati 22, 07 Februari 2025
#reHATIwan #reHATIwanInspiring #MariBerbagiMakna #IWANwahyudi
@rehatiwaninspiring
www.rehatiwan.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar