“Apa yang berkecamuk dalam pikiran dan bergejolak dalam nurani, akan ditumpahkan dalam lisan dan tulisan seseorang. Pantas HOS Tjokroaminoto berteori, pemimpin besar berbicara seperti orator dan menulis seperti wartawan."
Kita coba menjelajah waktu lebih
dari 9 dekade lampau. Menelisik perihal ucapan seorang pria, apakah hanya omon-omon belaka guna popularitas atau
begitulah adanya laku hidup dalam masa memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Bahkan ia tak sempat menyicip sedikit pun udara kemerdekaan yang ia
perjuangkan. “Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan
dan berbicalah seperti orator”. Gayanya dalam dua hal ini kemudian ditiru oleh
murid sekaligus menantunya di rumah kos Gang Peneleh VII Surabaya yang dijuluki
“Dapoer Nasionalisme”, Soekarno.
Mari kita lebih mengerucut lagi
pada bagaimana tokoh Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto yang wafat pada 17
Desember 1934 ini menggerakan penanya dalam pergerakan. Harus disadari saat itu
semua organisasi dan partai politik memiliki surat kabar atau majalah sebagai
sarana sosialisasi dan propaganda. Wajar jika isinya lebih berbobot dan
intelektual dibandingkan celotehan buzzer “peliharaan” penguasa yang marak satu
dekade belakangan ini.
Ia mulai sering mempublikasikan artikel
tulisannya di harian Bintang Surabaya tahun 1902. Ketika ia memimpin organisasi
terbesar di Indonesia saat itu dengan anggota mencapai lebih dari 2 juta orang,
Sarekat Islam (SI), ia mendirikan beberapa koran dan majalah sebagai corong
perjuangan.
Surat Kabar Oetoesan Hindia sebagai
koran resmi SI diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1912 di Surabaya. Tjokro
menempati dua posisi penting sebagai Direktur Administrasi sekaligus Pimpinan
Redaksi. Di harian ini Tjokro menjadi jurnalis yang rutin menulis minimal
sekali sebulan dengan tema beragam seperti politik, hukum hingga perdebatan
paham sosialisme dan Islam. Oetoesan Hindia bertahan hingga 11 tahun.
Surat Kabar Fadjar Asia pertama
kali terbit pada 5 Januari 1923 berkantor di Pasar Senen 123. Terbit setiap
hari kecuali Ahad dan Hari Besar dengan jargon “Soerat chabar penerangan Islam
tentang Agama, Adab dan Politiek”. Pimpinan redaksinya Tjokroaminoto dan Agus
Salim, sedangkan redakturnya Kartosoewirjo. Koran ini sangat berpengaruh di
Hindia Belanda.
Majalah Bendera Islam pertama
kali terbit tahun 1923 sebagai organ SI, bersekretariat di Karangkajen
Yogyakarta. Hadir setiap Senin dan Kamis dengan jargon “Soerat Kabar
berdasarkan politiek dalam Islam memoeat perkara oemoem”. Pimpinan redaksinya
Tjokroaminoto dan redaktur pelaksana dipegang oleh Soerjopranoto. Agus Salim
mengurusi biro wilayah Batavia.
Selain empat media diatas sosok
yang dijuluki oleh Belanda dengan “De Ongekvoonde koning van Java” atau Raja
Jawa tanpa mahkota ini tulisannya banyak bertebaran pula pada Surat Kabar “Sendjata
Pemoeda” Pemuda PSII, Majalah Al-Jihad dan dua majalah lain dimana ia menjadi
editornya, majalah bulanan Al-Islam dan majalah dua mingguan Bintang Islam.
Dari sederet media yang dikelola
dan memuat tulisannya, bukan abal-abal pena sosok yang dikenal dengan “Guru
Para Pendiri Bangsa” dan “Bapak Para Tokoh Pergerakan” ini tak pernah kering mewakili
suara hati dan pemikirannya. Hingga isinya melintasi berbagai generasi hingga
hari ini.
Ia bukan anak ulama besar, anak
raja atau presiden sebuah negara, tapi warisan penanya masih jelas dan punah.
Seperti apa yang dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, “Kalau kamu bukan anak ulama
besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah.”
Rumah Merpati 22, 17
Desember 2024
IWAN Wahyudi
Komentar
Posting Komentar