Suatu waktu
dalam sidang Dewan Rakyat (Volksraad) Hindia Belanda tahun
1922, Agus Salim salah satu anggota Volksraad membuat gaduh dengan pidatonya.
Seorang poliglot yang menguasai 9 bahasa di dunia itu berpidato dengan
menggunakan bahasa Indonesia/Melayu. Bukan karena ia tak mampu berbahasa
Inggris atau Belanda. Puluhan anggota dewan yang sebagian orang Eropa dibuat
tercengang.
Pidato dalam bahasa melayu itu yang
membuatnya dianggap nyeleneh. Ada semacam aturan tidak tertulis yang seakan
mewajibkan semua anggota dewan yang mulia itu berbicara bahasa Belanda. Agus
Salim cuek saja, malah lanjut membacakan pidatonya yang berisi cukup pedas mengkritik
sikap pemerintahan Belanda yang tak perduli pada rakyat jajahannya.
Seorang anggota sidang perwakilan Zending dari Belanda
bernama Bergmeyer menginterupsi pidato
itu dengan nada menghina dan menertawakan Agus Salim, “Jika Anda berpidato
dengan bahasa Indonesia, bagaimana Anda akan menyebut kata economic?". Sebuah pertanyaan yang arahnya ingin mempermalukannya
tersebut tentu sudah tercium oleh Agus Salim. Tak diduga tantangan itu disambut
dengan cerdas oleh lelaki yang kelak menjadi diplomat ulung negeri ini. “Tuan
sebutkan dulu apa kata “economic” itu dalam bahasa Belanda.” ujarnya.
Bergmeyer terdiam seribu bahasa. Dan Agus Salim
melanjutkan pidatonya, walaupun sesekali menggunakan bahasa asing untuk
menyebutkan beberapa kata yang belum diserap bahasa Indonesia. Ternyata saat
itu belum ada padanan kata “economic” yang cocok dalam bahasa Belanda. Kata
yang jamak digunakan sebagai pengganti hanya kata staathuishoudkunde, yang lebih tepat berarti “politik-ekonomi”.
Nama Agus Salim tercatat sebagai orang pertama yang
berpidato dengan bahasa Indonesia/Melayu dalam sidang Volksraad. Bahasa adalah
salah satu identitas sebuah suku atau bangsa, yang kala itu tentu sangat tidak
disukai oleh Belanda sebagai penjajah. Jika bangsa jajahannnya memiliki
identitas yang terus dimunculkan dan kemudian membangkitkan semangat persatuan untuk
melawan penjajah, ini akan menjadi bahaya.
Enam tahun kemudian, tepatnya 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia berkumpul dan mengikrarkan “Sumpah Pemuda” yang salah satu isinya, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
Merpati 22, 13 Agustus 2024
IWAN wahyudi
Komentar
Posting Komentar