Langsung ke konten utama

KURBAN REFLEKSI SYUKUR DAN KETAATAN



“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS.Al-Kautsar : 1-2)

 

Tak ada yang lebih melekat dalam ingatan dengan bulan Dzulhijjah pada hampir semua umat Islam kecuali dua hal, Haji dan Kurban. Jika shalat Ied nya ada Idulfitri yang “menduakan”, tapi ibadah haji dan kurban hanya ada saat Iduladha. Ibadah haji hanya bisa dilakukan dan disaksikan langsung di tanah suci, sedangkan ibadah kurban dimanapun hamparan bumi, umat Islam dapat menunaikan, melihat bahkan merasakan pula keberkahan dan kemanfaatannya.

Mak Yati (60 tahun) seorang nenek yang tinggal di Tebet Jakarta Selatan hanya memiliki penghasilan Rp. 25 ribu setiap harinya dari memulung sampah. Tekadnya untuk berkurban di hari raya Idul Adha tak terbendung dengan keterbatasan ekonominya itu. Niatnya kesampaian setelah menabung selama tiga tahun, dua ekor kambing menggenapkan kebahagiaanya dapat berkurban. (merdeka.com 2012). Kisah-kisah Mak Yati lainnya seperti selalu Allah swt ulang kembali tiap tahun saat Idul Kurban dan menjadi pemberitaan media. Entah Mak Yati itu berdomisili dimana saja, hingga kejadian nyata dilingkungan tetangga kita.

Kisah kurban yang selalu di ingatkan kembali dalam setiap khutbah hari raya adalah betapa kesabaran, ketaatan dan kecintaan Nabi Ibrahim as melaksanakan perintah Allah swt untuk menyembelih anaknya Ismail as. Sebuah bukti nyata penghambaan yang tak tersekat oleh cinta pada anak yang telah lama dinantikan kehadirannya, keteladanan akan ketaatan yang kadang tidak masuk akal bagi manusia biasa. Bentuk totalitas kepada Allah swt.


Perihal berkurban, dalam keadaan berada atau sedang mengalami kekurangan, Rasulullah Muhammad saw berikan contoh selalu berkurban setiap tahun. Gaya hidupnya yang sederhana, tidak membuat absen berkurban. Baginya, kurban adalah ibadah yang diupayakan setiap tahun, bukan ibadah yang dilakukan sekali seumur hidup.

Menurut mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, hukum berkurban merupakan Sunnah Muakkad, yaitu ibadah yang sangat dianjurkan kepada seorang muslim yang memiliki kemampuan secara finansial. Namun, menurut Abu Hanifah, hukum berkurban bagi yang mampu adalah wajib.


Hadits Ibnu Abbas, beliau mendengar Nabi bersabda, “Tiga hal yang wajib bagiku, sunah bagi kalian yaitu shalat witir, kurban, dan shalat Dhuha.” (HR. Ahmad dan al-Hakim). 

Dalam riwayat lain disebutkan Nabi bersabda, “Aku diperintahkan berkurban, dan hal tersebut sunah bagi kalian.” (HR.Tirmidzi).

Melihat ibadah kurban jangan sampai karena sunnah muakkad sehingga tidak menjadi niat yang menghujam dan keinginan yang melangit untuk diamalkan. Secara pribadi ibadah kurban merupakan refleksi bagi setiap diri sejauhmana menyiapkan diri dalam ketaatan dan seberapa besar ekspresi kesyukuran atas beragam nikmat tak berbilang dari-Nya. Dalam aspek sosial Allah swt memerintahkan daging kurban untuk dibagikan secara merata kepada seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Orang kaya maupun miskin dapat menikmati daging kurban. Hal ini akan mengokohkan ikatan ukhuwah Islamiyah dan mempererat silaturahim dan merayakan hari raya Idul Adha dengan suka cita. Bukankah akhir-akhir ini kesatuan sosial dalam bingkai kebangsaan sedikit melonggar akibat kesenjangan ekonomi, sehingga kurban menjadi salah satu perekat keIndonesiaan.


Betapa besar pahala yang di dapat mereka yang berkurban hingga hitungan kebaikan yang didapat bukan jumlah hewan, tetapi setiap helai bulunya. Pada hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dikatakan, “Pada setiap lembar/helai bulunya itu kita memperoleh satu kebaikan.”

Ibadah kurban kadang dianggap hal yang berat karena membutuhkan kekuatan finansial yang tidak sedikit. Tetapi ada pilihan-pilihan berkurban yang dapat disesuaikan dengan kondisi rejeki yang didapat. Bila tidak mampu seekor sapi, maka dapat berkurban seekor kambing. Bila belum mampu satu ekor, bisa dengan patungan satu ekor sapi dengan tujuh orang. Jikapun masih belum memiliki kesanggupan dapat dengan bersedekah daging dalam nominal yang jauh lebih kecil dan melibatkan lebih banyak lagi orang untuk membeli seekor hewan kurban, kemudian membagikan dagingnya pada mereka yang berhak agar kegembiraan dan kebahagiaan di hari raya menjadi milik semua.



“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (qurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak nyang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya, dan berilah kabar gembira pada orang-orang yang tunduk (patuh) pada Allah” (QS.Al Hajj: 34).


Ibadah kurban memiliki nilai besar justru saat hari berkurban , setelah shalat Iduladha sampai hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Saatnya tak menyiakan kesempatan yang begitu mulia ini, karena tidak akan sama diwaktu lain walapun dengan besaran yang sama. “ Ibadah kurban lebih utama daripada sadaqah biasa dengan nilai yang sama.” (Ibnu al-Qayyim dalam Tuhfat al-Mawlud)

            Salah satu sifat yang harus melekat pada diri seorang hamba pada Sang Pencipta adalah ketaatan. Sebagai bukti terimakasih atas segala nikmat-Nya adalah dengan bersyukur. Dengan ketaatan dan bersyukur membuat diri bernilai dihadapan-Nya dan dilipatkandakan nikmat berikutnya. Dan berkurban dapat merangkum keduanya dalam satu ibadah. Mari berkurban, sekecil apapun. Jangan tertinggal dalam tiap kesempatan beramal.

 

Dimuat pada Majalah Suara Hati LAZ DASI NTB Edisi Juni 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[KARTINI]

KARTINI, banyak sejarah kehidupannya yang kadang "digelapkan" oleh rezim yang pernah berkuasa di negeri ini. Kartini (1) Sejarah yang ditulis penguasa telah menunggangi pemikiran2 kartini untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita2 murni kartini. Kartini (2) Betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai kartini. Kartini (3) Kekritisan kartini talah terlihat sejak kecil ketika kebiasaan tempo dulu untuk memanggil guru ngaji ke rumah  untuk mengajar membaca dan menghafal al-qur'an tidak disertai dengan terjemahan,kartini tidak bisa menerima hal tersebut. dia menanyakan makna ayat2 yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, malah sang guru memarahinya. Kartini (5) Kyai sholeh kemudian tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an kedalam bahasa jawa. Di hari pernikahan kartini kyai sholeh menghadiahinya terjemahan  Al-Qur'an ( Faizhur Rahma...

[MENOLAK TAKLUK]

Jenderal Soedirman pastinya tau benar akan penyakit komplikasi Tuberkulosis yang merusak paru-parunya dan ia bawa bergerilya keluar masuk hutan hingga harus ditandu naik turun bukit. Saya yakin setiap dokter akan menyarankannya Istirahat. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Soekarno juga bukan orang yang tidak mengerti akan penyakitnya saat menolak operasi ginjal. Namun ia tetap memilih masih menjalankan pemerintahan republik  padahal iya mengalami hipertensi yang dipengaruhi ginjalnya, ginjal kiri tidak berfungsi maksimal sedang fungsi ginjal kanan tinggal 25%. Ada juga penyempitan pembuluh darah jantung  pembesaran otot jantung bahkan gejala gagal jantung. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? RA Kartini tak berhenti berjuang lewat literasi dengan berkorespondensi walau ia kemudian mengalami pre-eklampsia (tekanan darah tinggi saat kehamilan, persalinan atau nifas) saat melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Pernahkan ki...

[SURAT JURU BICARA LISAN DAN HATI]

Setelah mengundurkan diri dari posisi wakil presiden mendampingi Soekarno akibat perbedaan pandangan, bukan berarti membuat hubungan Hatta dengan pasangan dwi tunggalnya itu benar-benar terputus. Persaudaraan dan persahabatan diantaranya tetap berjalan, salah satunya Hatta masih menulis surat-surat masukan pada presiden Soekarno, selain tulisan-tulisannya di koran. Entah apakah surat itu dibaca atau diterima pesan didalamnya. 1902, perempuan 23 tahun ini banyak menuliskan perasaan dan pikiran keseorang wanita dibenua Eropa nun jauh dari Indonesia. Korespondensi mereka tak kurang dari 115 pucuk surat yang kemudian dihimpun menjadi buku "Habis Gelap Terbitlah Terang". Mereka berdua adalah RA Kartini dan Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, agama dan industri Hindia Belanda. Banyak orang yang tidak dapat mengungkapkan perasaan dan masukan secara langsung pada orang lain, hingga diperlukan media pesan dengan secarik kertas. Surat, sebuah saksi pera...