Langsung ke konten utama

[SEJAK SMA BERSEMAI DI LITERASI]

Siang yang terik 26 Juni 2024 tak membuat pertemuan yang sempat tertuda beberapa kali ini menjadi panas. Angin sepoi-sepoi di Bhumi Resto depan UIN Mataram sesekali mengundang kantuk saat jeda obrolan yang disibukan mengetik di laptop dan HP masing-masing.

Obrolan ditemani dengan segelas serbat dan singkong goreng tak lepas dari tema nostalgia dan literasi. Dosen muda UIN Mataram ini selain sebagai akademisi juga seorang penulis fiksi maupun non fiksi. 

Saat pandemic Covid-19 beberapa tahun yang lalu membuat aktivitas seketika work from home alias dikerjakan dari rumah membuat produktifitas mandek dengan pembatasan tersebut. Bang Iskandar Dinata ini mulai mencari kesibukan baru untuk mengisi waktu luang dan tentunnya kejumudan yang hampir melanda semua orang yang biasa beraktivitas diluar ruangan. Tahun 2020 akhirnya ia menemukan ruang baru untuknya menyalurkan hobi menulis dengan mempelajari dan mendalami pentigraf (cerpen tiga paragraf). Dan aktivitas itu hingga sekarang membuahkan lebih dari 20 antologi pentigraf yang terbit untuk merangkum karyanya.

Pentigraf bagi sebagian orang masih asing terdengar diantara bentuk karya sastra lainnya. Padahal penggagas karya sastra jenis baru ini adalah orang Indonesia yaitu Prof. Tengsoe Tjahjono. Ia seorang satrawan dan juga akademikus pada Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Prof Tengsoe sebenarnya memperkenalkan pentigraf ini sudah cukup lama, sejak tahun 1980-an dengan mengirimkan tulisan pentigrafnya pada media koran Suara Indonesia Malang.

Penamaan pentigraf ini karena memang syarat utamanya terdiri dari tiga paragraf, tidak lebih dan kurang. Dengan pendeknya itu tetap haruslah memiliki tokoh, alur cerita dan konflik yang kuat sebagaimana cerpen pada umumnya. Prof Tengsoe juga memberikan alasan: 1) dengan tiga paragraf, penulis akan mampu memaksimalkan kehadiran elemen-elemen cerpen; 2) penulis bisa mengatur laju alur dengan leluasa; 3) penulis bisa menawarkan pesan moral dengan cepat, tepat dan mudah diterima pembaca.

Perkenalan saya dengan dosen alumni SMUN 4 Raba (sekarang SMAN 4 Kota Bima) ini sudah cukup lama sebenarnya. Walau berbeda sekolah kami saat itu aktif dalam Forum Ilmiah Remaja (FIR) Kabupaten Bima yang merupakan wadah berkumpulnya siswa yang berkecimpung dalam ekstrakurukuler Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) di sekolah. Saat itu belum berdiri Kota Bima yang merupakan pemekaran Kecamatan RasanaE dari Kabupaten Bima. Setelah lulus sekolah kemudian kami merantau melanjutkan cita-cita pendidikan, saya ke Mataram dan Bang Iskandar ke Malang.

Sebuah novel “Cinta Tak Terlerai” dengan nama pena Parange Anaranggana saya dapatkan di Bima pada 6 Agustus 2011. Sebagaimana perjalanan waktu yang tak terasa, novel itu tersimpan begitu saja di rak buku. Hingga suatu saat di Kedai Kalikuma Mataram pada tahun 2015 seperti biasa tempat kami nongkrong ngobrol terkait literasi, saya berjumpa kembali dengan Bang Iskandar setelah berpisah 15 tahun lamanya. Disanalah terungkap bahwa Parange Anaranggana adalah nama pena penulis novel Mbojo Mambure ini.


Pada bulan Agustus tahun 2016 di salah satu desa di Kecamatan Narmada tempat Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa UIN Mataram dengan dosen pembimbing Bapak Abdul Wahid (pemilik Kedai Kalikuma) mengadakan pelatihan kepenulisan dan pembuatan blog. Kami berdua mendapat kesempatan menjadi pematerinya. Sejak itu kemudian kami saling berkomunikasi lebih sering terkait kepenulisan. Apalagi jika pendiri Komunitas Mbojo Matunti (Kambuti) ini sedang mudik ke Bima atau saya ke Mataram akan menyempatkan diri kopi darat sekedar menanyakan buku apa yang sedang atau akan ditulis dan saling menyemangati untuk terus menulis.

Begitulah jalan literasi, selain mempertemukan dengan banyak teman baru, juga akan memperjumpakan dengan teman-teman lama dengan cara yang tak terduga. Seperti huruf dan kata yang terpisah kemudian disatukan dalam kalimat dengan beragam makna dan pesannya.

 

26 Juni 2024

IWAN Wahyudi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

060 [PESONA SENYUM EMAS MU]

  “Senyum itu dari mata turun ke hati dan dari hati naik ke wajah.”   Ada banyak jenis senyum lengkap dengan beragam rasa sang pemilik wajah dan kesana sesiapa yang memandangnya. Konon senyum yang terbaik ialah Duchenne smile . Sebutan untuk senyum tulus yang identik dengan terangkatnya dua sudut mulut dan pipi sehingga membuat sudut mata berkerut. Senyum ini dapat menular pada orang lain dan dapat memperbaiki mood . Senyum Duchenne juga dikenal sebagai senyum kegembiraan sejati. Ada juga yang menyebutnya Standar emas dari senyum. Membuat Anda terlihat dapat dipercaya, autentik, dan ramah. Duchenne terinspirasi dari nama seorang peneliti abad 19 bernama Guillaume Duchenne. Sosoknya memberikan kontribusi luar biasa dalam memetakan otot-otot tubuh manusia, termasuk yang bertugas mengendalikan ekspresi wajah. Ciri-ciri dari Duchenne smile: Senyuman tampak hingga ke mata, sudut-sudut mata berkerut da nada gerakan dari dua otot wajah (di mulut dan pipi) Duchenne smile ...

056 [PERLAWANAN ABADI]

Ketika segelintir mereka mendeklarasikan diri sebagai musuh abadi yang selalu siaga menggelincirkan kita, hanya satu pekik dan langkah kita, LAWAN!!! Namun kadang kita bermesraan dengan mereka. Memeluk dan terperdaya larut dalam rayuannya. Ruang itu sengaja kita ciptakan, padahal mereka tak sejenak pun memiliki rasa kemanusiaan.  Melawan tak melulu identik dengan hal negatif. Melawan lahir dari jarak antara seharusnya dengan realitas. Melawan reaksi dari aksi yang menyimpang atas fitrah kemanusiaan. Perlawanan itu abadi.  Rumah Merpati 22 16122022, 21:32 #MariBagiMakna #InspirasiwajahNegeri #IwanWahyudi #gerimis30hari #Gerimis_Des_16  @inspirasiwajahnegeri @iwanwahyudi1 @gerimis30hari @ellunarpublish_ 

065 [RAMADHAN, DESEMBER DAN JANUARI]

Ini bukan direncanakan apalagi kebetulan, tapi keberulangan yang keseringan. Tapi siklus ini selalu membawa berkah dan kadang tak terduga. Beberapa yang dalam prediksi tidak mungkin ternyata paling cepat dan awal. Begitulah takdir dan nikmatnya, tak perlu disanksikan. Cukup jalani, tambah do'a yang mengiringi, hasilnya apapun itu jangan terima dan kecil hati. Lima antologi gagal. Tiga diantaranya karena diskomunikasi. Dua lainnya sudah kirim naskah sampai bela-belain dengan waktu yang mepet, eh malah belum ada kabar sampai sekarang nasib terbit atau tidaknya, padahal penyelenggaranya komunitas besar dan ternama. Alhamdulillah ada yang nyelip satu antologi, waktunya cepat bahkan saya sempat menyangsikan penyelenggara yang mengajak mampu menerbitkannya. Dua naskah solo mau tidak mau harus ditunda. Satunya sudah sejak tahun lalu direncanakan dan naskah tinggal diracik. Satu sisanya sudah didiskusikan kebanyak kawan, bahkan naskahnya di edit beberapa orang, tapi belum menemukan ruhn...