Langsung ke konten utama

69 [SURAT KABAR vs KABAR BERANDA] 06/30

 


Kemarin siang (Rabu, 5 Juni 2024) saya melintasi Karang Baru, Mataram. Tepat di Utara Masjid yang saling berhadapan di jalan menuju Rembiga, dengan mengurangi kecepatan motor hingga dibawah 30km/jam, mata saya fokus di deretan ruko sebelah kiri jalan. Yap, saat mata melihat pajangan koran Bali Post dan Suara NTB langsung memberhentikan kendaraan.

"Pak berapa Suara NTB?", tanya saya. Sembari bangkit dari kursi menuju arah saya, si penjual manjawab, " Lima ribu,". "Cuma Suara NTB dan Bali Post aja pak?", saya coba mencari tau koran lain. "Iya cuma dua aja, sudah jarang koran sekarang." Saya sebenarnya ingin mencari tau kenapa tidak ada Lombok Post (Jaringan Jawa Pos group) yang pernah menjadi harian pertama dan terbesar di NTB. Dulu awal terbitnya bernama Suara Nusa.

Siang itu saya sengaja ingin mencari dan membaca koran edisi cetak. Di beberapa titik penjualan, baik itu toko, warung kaki lima, lapak pinggir jalan hingga perempatan lampu lalu lintas dimana dulu biasa ditemui penjaja koran, kini telah pemandangan seperti itu.

Berita yang dimuat di koran yang terbit hari ini merupakan peristiwa yang terjadi kemarin. Jika tinggal di Bima dulu karena pengiriman dari Mataram melalui darat, perlu tambahan satu hari lagi baru sampai ke tangan pembaca. Jadi ada keterlambatan informasi dua hari dari waktu sebenarnya.

Kita bayangkan para kaum terpelajar dan cerdik pandai pendiri bangsa ini, dulu menyebarkan berita dan pikirannya melalui surat kabar memerlukan waktu berapa lama hingga dapat sampai pada para pembaca.

Cikal bakal koran dari lembaran berita tulisan tangan langsung tertua beredar luas di Venesia sejak tahun 1566. Lembaran berita mingguan ini penuh dengan informasi tentang perang dan politik di Italia dan Eropa. Surat kabar cetak pertama diterbitkan mingguan di Jerman sejak tahun 1605. Mereka dapat dilihat sebagai surat kabar karena alasan berikut: dicetak, diberi tanggal, muncul pada interval penerbitan yang teratur dan sering, dan memuat berbagai item berita (tidak seperti berita satu item yang disebutkan di atas). Bentuk awal terbitan berkala berita disebut Messrelationen ("laporan pameran dagang") yang dikumpulkan dua kali setahun untuk pameran buku tahunan besar di Frankfurt dan Leipzig , dimulai pada tahun 1580-an. (https://en.wikipedia.org/.../History_of_newspaper_publishing diakses 6 Juni 2024)

Di Indonesia sendiri surat kabar telah berkembang sangat pesat sejak 1744. Dengan surat kabar pertama yang muncul bernama Bataviasche Nouvelles, terbit selama dua tahun, 1744 hingga 1746. Diterbitkan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Surat kabar pertama di Indonesia yang menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan adalah Soeara Asia, terbit tanggal 18 Agustus 1945.

Setelah reformasi, gelombang surat kabar kian marak, lepas dari kunkungan kemerdekaan berpendapat masa orde baru. Hingga awal tahun 2000an koran masih menjadi sarana publikasi dan dan "perang" gagasan para aktivis. Saya ingat betul, selain sebagai bahan berita, kolom opini, artikel hingga suara pembaca digunakan sebagai sarana "perjuangan" pemikiran.

Makin kesini apalagi pasca covid-19, surat kabar edisi cetak kian tergerus dan hijrah versi digital. Ditambah gelombang media sosial kian memanjakan setiap orang untuk memiliki "kabar beranda" sendiri. Mengabarkan apapun, kapanpun dan bisa dibaca siapapun detik itu pula. Seakan punya surat kabar online pribadi. Bahkan seperti memiliki stasiun televisi sendiri. Dapat memposting video sesuka hati, siaran langsung, bahkan berinteraksi langsung dengan penonton.

06062024

#Gerimis30Hari #Gerimis_Juni24_06 #Gerimis_Juni24_Hangat #MariBerbagiMakna #reHATIwan #InspirasiWajahnegeri #IWANwahyudi @gerimis30hari @rehatiwan @Inspirasiwajahnegeri @iwanwahyudi1


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me