Langsung ke konten utama

66 [KOPI DAN KERUPUK PENUTUP JAMUAN]

  


Minuman utama itu air bening/putih dan makanan pokok itu ya nasi dong. Sedangkan kopi, teh, kerupuk dan sambal itu cuma pelengkap seperti apapun nikmatnya. Jangan dibalik. Jika pola makan tak sesuai peruntukannya akan membahayakan diri si pengkonsumsi, cepat atau lambat.

Usai menyantap hidangan makan siang di Perpustakaan Desa Teratak kemarin dengan menu desa yang membuat perut cukup kenyang, sebagai penutup disuguhi kopi oleh pasangan muda penggerak dan pengelolanya kak Munawar Mahmud dan kak Nur Azizah Ilhamiah.

Menyeruput kopi pada saat itu sangat pas sekali. Saat kenyang di siang hari akan mempercepat datangnya kantuk, apalagi kami harus balik ke Matatam dengan berkendara motor. Makin tepat kopi hitam pahit menghempas rasa berat di mata. Menemani kopi, ada kerupuk yang sisa suguhan makan siang tadi.

Aneh memang biasanya kopi di temani makanan ringan seperti pisang goreng atau jajanan lainnya. Tapi kali ini benar-benar makanan sangat ringan, seringan kerupuk.

Saya coba mengambil postifnya saja. Agar tidak mubazir, maka kerupuk lebih saat makan siang disajikan kembali untuk hidangan penutup. Bila makanan penutup berupa makanan karbo (seperti ubi, singkong atau pisang goreng) menemani kopi tentu akan menambah kenyang dan akan berbahaya. Kriuk suara kerupuk ketika dikunyah membuat rame dan menambah seru perbincangan.

Dari kerupuk hidangan penutup ini saya coba mengambil pesan terkait aktivitas menulis. Pertama, hidari pemborosan. Pemborosan kata atau kalimat yang sebenarnya bisa dipadatkan akan menyebabkan sebuah tulisan terkesan bertele-tele atau berputar-putar yang membuat pembaca tidak nyaman.

Kedua, hadirkan keseruan dalam tulisan. Selain dari subtansi yang menarik juga perlu ditambah bumbu berupa kutipan dan tulisan selingan agar makin berwarna. Dan ketiga, hindari obesitas tulisan. Artinya penambahan atau sisipan jangan sampai menyebabkan tulisan semakin “gemuk” dan hambar hanya mengejar tebalnya halaman semata.

Dalam sebuah tulisan, bagian pembuka dan penutup tidak boleh melebihi fungsi bagian utama dan subtansi utuh sebuah tulisan. Hanya cukup sebagai mukadimah dan penutup yang mengiringi.

 

03 Juni 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me