Langsung ke konten utama

[TANPA ISI]

 



“Agar benih menjadi pohon, ia butuh isi. Agar ibadah bernilai, perlu adanya rasa.”

Kontestasi pemimpin dalam balutan perhelatan pemilu, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah hingga ketua RT sekalipun, merupakan kesempatan besar bagi rakyat yang memiliki hak pilih untuk memilih dan memilah. Sejauh mana para kandidat memang benar-benar punya isi hingga pantas menjadi pemimpin, bukan pemimpi dalam alam khayalan.

Adakalanya tong kosong memang nyaring bunyinya. Pandai berbicara tapi tak berisi, yang keluar hanya pemanis buatan hingga akan menimbulkan penyakit gula darah dalam kehidupan. Tak berisi bukan hanya bisa dikamuflase dengan jago melakukan pencitraan diri, tapi juga bersilat lidah dan minim bicara dalam debat padahal saat pidato sangat jago dan mengebu-gebu.

Benih yang kopong hanya berisi selaput pembungkus luar, tanpa ada isi, mustahil akan tumbuh menjadi tunas. Apalagi menghasilkan buah manis yang diidamkan. Ibadah dan amal bila hanya dilakukan sekedar gugur kewajiban tanpa melibatkan hati. Ia akan hanya berdampak pada lelah semata. Tak ada rasa dan aroma yang hadir, apalagi nilai yang berefek memandu hidup dan kehidupan.

Cukup yang sudah-sudah tertipu membeli dan menanam benih tanpa isi, walau diberi pupuk seperti apapun tak akan tumbuh. Yang hadir hanya gulma pengganggu. Saatnya menaikan level amal dari yang begitu-begitu saja menjadi yang datang dari hati dan menebar rasa juga nilai.

“Adakah benih yang menjadi tunas tanpa isi? Gambar tanpa jiwa tidak lain adalah khayalan.” (Jalaluddin Rumi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[KARTINI]

KARTINI, banyak sejarah kehidupannya yang kadang "digelapkan" oleh rezim yang pernah berkuasa di negeri ini. Kartini (1) Sejarah yang ditulis penguasa telah menunggangi pemikiran2 kartini untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita2 murni kartini. Kartini (2) Betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai kartini. Kartini (3) Kekritisan kartini talah terlihat sejak kecil ketika kebiasaan tempo dulu untuk memanggil guru ngaji ke rumah  untuk mengajar membaca dan menghafal al-qur'an tidak disertai dengan terjemahan,kartini tidak bisa menerima hal tersebut. dia menanyakan makna ayat2 yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, malah sang guru memarahinya. Kartini (5) Kyai sholeh kemudian tergugah untuk menterjemahkan Al-Qur'an kedalam bahasa jawa. Di hari pernikahan kartini kyai sholeh menghadiahinya terjemahan  Al-Qur'an ( Faizhur Rahma...

[MENOLAK TAKLUK]

Jenderal Soedirman pastinya tau benar akan penyakit komplikasi Tuberkulosis yang merusak paru-parunya dan ia bawa bergerilya keluar masuk hutan hingga harus ditandu naik turun bukit. Saya yakin setiap dokter akan menyarankannya Istirahat. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Soekarno juga bukan orang yang tidak mengerti akan penyakitnya saat menolak operasi ginjal. Namun ia tetap memilih masih menjalankan pemerintahan republik  padahal iya mengalami hipertensi yang dipengaruhi ginjalnya, ginjal kiri tidak berfungsi maksimal sedang fungsi ginjal kanan tinggal 25%. Ada juga penyempitan pembuluh darah jantung  pembesaran otot jantung bahkan gejala gagal jantung. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? RA Kartini tak berhenti berjuang lewat literasi dengan berkorespondensi walau ia kemudian mengalami pre-eklampsia (tekanan darah tinggi saat kehamilan, persalinan atau nifas) saat melahirkan anak pertama dan satu-satunya. Apakah ini menolak takluk oleh sakit? Pernahkan ki...

[SURAT JURU BICARA LISAN DAN HATI]

Setelah mengundurkan diri dari posisi wakil presiden mendampingi Soekarno akibat perbedaan pandangan, bukan berarti membuat hubungan Hatta dengan pasangan dwi tunggalnya itu benar-benar terputus. Persaudaraan dan persahabatan diantaranya tetap berjalan, salah satunya Hatta masih menulis surat-surat masukan pada presiden Soekarno, selain tulisan-tulisannya di koran. Entah apakah surat itu dibaca atau diterima pesan didalamnya. 1902, perempuan 23 tahun ini banyak menuliskan perasaan dan pikiran keseorang wanita dibenua Eropa nun jauh dari Indonesia. Korespondensi mereka tak kurang dari 115 pucuk surat yang kemudian dihimpun menjadi buku "Habis Gelap Terbitlah Terang". Mereka berdua adalah RA Kartini dan Nyonya Rosa Abendanon-Mandri, istri Direktur Pendidikan, agama dan industri Hindia Belanda. Banyak orang yang tidak dapat mengungkapkan perasaan dan masukan secara langsung pada orang lain, hingga diperlukan media pesan dengan secarik kertas. Surat, sebuah saksi pera...