“Gerimis, mungkin tak cukup menghilangkan kemarau. Tapi bukankah bertanda musim hujan telah bersua. Menulis bukan untuk popularitas atau hadiah lomba. Namun, menyambung isi jiwa dan memperpanjang usia .”
Saya tak mungkin lupa pertemuan itu. Beberapa mahasiswa mendatangi untuk curhat terkait literasi. Potensi mereka besar tapi belum ada wadah. Mau gabung dengan komunitas besar tapi ribet administrasi dan kesibukan pengurusnya mengurus diri sendiri atau buat sendiri tapi mulai dari nol. Saya sarankan "buat baru sendiri". Akhirnya beberapa hari kemudian, tepatnya 12 November 2017 pertemuan perdana memotivasi mereka sekaligus deklarasi Komunitas Gemar Menulis (Gerimis).
Seperti filosofi gerimis sebelum hujan besar. Pastinya ia hanya rintik hujan lembut dan tipis, kadang tak cukup memenuhi kehausan tanah yang gersang, apalagi kemarau panjang. Tapi, gerimislah yang membawa harapan hujan besar akan tiba. Ia juga sebagai pertanda kemarau akan segera usai.
Begitu juga halnya menulis. Jika ingin langsung populer itu tak akan bertahan lama. Bila mau mengejar hadiah lomba, bersiaplah kecewa dan pendek usia karya. Meminjam ungkapan Bunda Asma Nadia, "Menulis itu Berjuang". Tak ada perjuangan yang instan. Tujuannya besar dan jalannya panjang. Tapi, permanen royaltinya tak hanya di dunia, bahkan hingga kita tiada dan sampai ke akhirat kelak.
Berjuang tak mengenal capek dan berhenti. Begitupun menulis karena ia dari hati tak akan mudah berhenti. Karena ia ungkapan isi jiwa, selalu menang melawan lelah dan menyerah.
Warisan gerimis berupa pertanda bahwa diujung sana akan berlimpah hujan yang membuat semua basah. Warisan menulis adalah amal jariyah kata yang selalu bermakna dan menggerakan pembacanya bahkan hingga penulisnya tiada.
23122023, 21:51
Komentar
Posting Komentar