Langsung ke konten utama

[MENULIS AGAR TAK TERKIKIS]

 


“Agar saat waktu habis engkau tak menangis. Berbanyaklah amal yang akan malaikat tulis.”

Jika waktu itu tiba, maka kita akan terpisah dengan semuanya termasuk tinta pena malaikat yang selalu menulis amal. Kecuali amal yang terus memberi manfaat pada orang lain dan beranak pinak menjadi amal jariyah. Ia tak akan pernah kehabisan halaman catatannya hingga akhirat kelak.

Banyak orang-orang besar yang kemudian dihempas badai zaman dan hilang tanpa jejak. Apalagi kita, yang cuma manusia biasa. Alangkah benarnya ungkapan, "Tulislah sejarahmu sendiri." Ini bukan sekedar bagus atau buruknya tulisan, sastrawi atau ceplas-ceplosnya gaya bahasa. Tapi mengawetkan memori, kenangan yang kian waktu terus tertumpuk.

"Aku menulis untuk menangkap kenangan yang mungkin tak akan mampu tersimpan dalam memoriku. Sebelum diriku usang dan menghilang." (Iwan Setyawan)

"Tenggelamnya Kapal Van der Wijck diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939. Sebelumnya tahun 1938 ditulis Hamka secara bersambung di majalah Pedoman Masyarakat. Novel itu terus mengalami cetak ulang sampai saat kini, dalam bahasa Melayu diterbitkan sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.

Film layar lebarnya rilis 75 tahun kemudian, tepatnya 13 Desember 2013. Umur Hamka tak pernah terkikis zaman, bahkan selalu muda saat bertemu generasi baru yang membaca karyanya. "Aku belajar dan membaca agar umur orang lain berguna bagiku, dan aku menulis agar orang lain mengambil manfaat atas umurku." (Felix Siauw)

Menulislah agar tak terkikis zaman, memorimu utuh saat tak ada lagi yang mengingatkan.
Terimakasih 2023, dipenghujungmu masih beberapa saat merajut kata dan kalimat karya pamungkas.

Terimakasih para senior Bunda Bening Damhuji , Bang Dosen Ilyas Yasin , Mbak Yuliana Bundanya Failah Yuliana Setia Rahayu , Ust Roni Haldi , Bang Yusuf Maulana, Bang Amir , adinda Gunawan Mat'uin tempat saya "curi" motivasi nulis hariannya di FB.

Terimakasih sahabat berlomba menerbitkan karya : Kang Syamsudin Kadir, Bang Eka Ilham SangPencerah Eka Ilham Sang Pencerah , Salahuddin Al Ayyubi II , pak Dosen Lukmanul Hakim AS , Wadek Jul Lembo Ade , Bu Guru Maratus Shalihah , Bu Guru Hesty Gorang , Bu Guru Lia Harnita , Bu Guru Marlina Susilawati , Kak Munawar Mahmud + Azizah, Pak Ketua Setiawan As-Sasaki Abu Maryam Setiawan As-Sasaki , pak Guru Hifni Djafar , Adinda Be N To, Adinda Ibnu Batuta dll (sambil ingat2, nanti ditag tambah nggih)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me