Langsung ke konten utama

[MAKAN SIANG JANGAN HARAP GRATIS]

 



"Tak ada makan siang gratis", ungkapan ini memang benar adanya. Tak mungkin sebuah ungkapan itu muncul tiba-tiba kemudian bertahan sekian lama melintasi berbagai generasi. Walau ada jarak yang panjang antar generasi itu, tetap saja rasa makan siang itu tak berubah, pasti "ada udang dibalik batu".

 Apalagi kini sudah masuk hari-hari sah dan legal berkampanye kontestasi memperebutkan suara rakyat.

Saya sangat menjaga diri sekali jika ada undangan, ajakan dan traktiran makan siang gratis. Apalagi jika itu datangnya dari politisi atau profesi lain yang lebih lihai darinya. Saya selalu arahkan sarapan bareng atau makan malam bersama aja.

Saya pernah kena sial soalnya. Tetiba ditelpon mendadak makan siang. Ya, dalam pikiran saya bersyukur bakal ada yang traktir. Apalagi tempat yang disebutkan cukup menggiurkan, sebuah warung sop tulang dan ayam kampung terkenal enaknya. Setelah makan, dia ke kasir lebih dulu, saya masih menikmati sisa kuah sop yang segar. Hati saya kian yakin, siang ini dompet bakal utuh ada orang berbaik hati bayarin.

Usai makan saya pura-pura tanya, "Sudah dibayar?". Dia cepat menjawab, "Sudah sop saya aja bang, bayar masing-masing." Wah prasangka baik diawal gagal. Sesampai depan kasir, belum sempat saya berucap sesuatu, dia secepat kilat berkata, "Sekalian sama nasi saya belum bayar tadi bang." Ampun deh, ternyata dia cuma bayar sop dirinya dan nasi "dipaksa" saya yang bayar. Cukup licik dan lihai, masih ingat benar dengan senyum kemenangannya waktu itu.

Pastikan anda tidak jadi korban dibelakang hari dari modus, "tidak ada makan siang gratis". Pahamkan maksud saya? Suara anda lebih mahal hanya dengan satu kali makan siang gratis.

Foto: cuma ilustrasi makan malam tanpa intrik "tidak ada makan siang gratis".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me