Langsung ke konten utama

[414 TAHUN LANGGAR KUNO MELAYU]

Pada hari ini tanggal 1 September 2015 akhirnya saya berkesempatan berkunjung dan melihat langsung Langgar Kuno biasa disebut juga  Langgar Kuno Melayu atau Langgar Kapenta (Bima: Kapenta artinya papan). Lokasi ditengah pemukiman penduduk, masuk kedalam yang tak cukup untuk dilewati oleh kendaraan roda empat. Dari kondisinya Nampak tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah hal itu terlihat dari pagar yang tertutup dan halaman yang dipenuhi oleh semak ilalang, ada juga warga sekitar yang menjemur pakaian dipagar halaman Langgar tersebut. Dari Papan yang terpampang dibagian sambil langgar kuno tersebut tertulis Cagar Budaya ini didirikan sejak tahun 1608.Alangkah elok jika Langgar Kapenta / Langgar Kuno ini tetap digunakan untuk kegiatan ibadah dan mengaji anak-anak agar ruh awal mendirikannya tidak hilang. Seperti halnya juga Masjid Sultan Muhammad Salahuddin yang sampai sekarang masih berfungsi. Hal ini sebagai bukti bahwa masyarakat Bima terkenal dengan Religiusnya.
--------
Hari ini Selasa 25 Januari 2022, tujuh tahun kemudian saya menghadiri peringatan 414 tahun berdirinya Langgar Kuno Melayu tersebut. Sore ini selain dzikir dan shalawat bersama, dirangkai dengan do’a bersama, orasi budaya dan rebana melayu. Akhirnya yang terbrsit dalam hati saat pertama kali mengunjungi masjid ini dulu itu terwujud. Spirit dan kehidupan berislam kembali hidup. 
Seakan mengembalikan ingatan dan semangat lebih dari 4 abad yang lalu ketika Masjid (Langgar) ini di dirikan oleh pemuka Islam di Kampung Melayu ini.
Pasca banjir bandang besar yang melanda Kota Bima akhir Desember 2016 lalu. Salah satu yang di bersihkan dan benahi kembali oleh para relawan ialah Langgar Kuno Melayu ini. Kegelisahan tentang kondisi langgar yang memprihatinkan ternyata mendapatkan momentumnya.
 Selain bangunan utama, tempat wudhu dan toilet yang representatif di bangun pada bagian selatan Langgar. Pengeras suara mulai menggemakan suara adzan dan kegiatan keislaman lainnya.
Jejak masa lalu bukan sekedar kebutuhan sejarah untuk di tampilkan di masa kini dan masa akan datang. Lebih dari itu ialah ruh perjuangan antar generasi, pewarisan spirit antar jaman dan jejak peradaban yang tak boleh hilang.

Foto 1 : 1 September 2015

Rumah Merpati 22
25012022 21:27
#InspirasiWajahNegeri #30haribercerita #30hbc2225 #MariBerbagiMAKNA #reHATIwan #InspiringWords #IWANwahyudi #Langgar Kuno #MasjidtoMosque
@inspirasiwajahnegeri @30haribercerita @iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me