Langsung ke konten utama

[NULIS KEROYOKAN]

Awal bulan ini saya dapat kiriman buku "Kita Enggak Baik-baik Saja" dari bu Dita Dandelion . Ini buku ke empat atau mungkin lebih dari itu karyanya yang kebanyakan lahir semua ketika pandemi. 

Walaupun kita, bangsa ini bahkan dunia memang benar sedang tidak baik-baik saja bukan berarti tak ada kesempatan melakukan kebaikan dan menebar kebaikan sesederhana berbagi kata dan makna pada sesama. Hingga mengubahnya menjadi baik-baik saja bahkan lebih baik dari sebelumnya disisi yang lain. 

Mungkin jika karya solo (buku sendiri) memang berat, tetapi jika bergotong-royong (antologi) maka akan mudah dan saling berlomba menyelesaikan tulisan. Keroyokan akan membangkitkan yang lemah diantara kita, mencubit dorongan yang tidak percaya diri, "memaksa" pena menggoreskan kata karena sering ditanya. 
Saya kadang berimajinasi seandainya ketika lulus sekolah bukan hanya buku album kelas saja yang kita buat, tapi ada buku bersama yang diterbitkan. "Wah sulit itu, tidak semua siswa bisa nulis", pasti banyak yang menggerutu begitu. Ide saya sederhana, isi buku bisa puisi, cerpen atau sebuah tulisan tentang kenapa mereka memilih masuk disekolahnya itu, apa pengalaman paling berkesan disekolah dan sebagainya yang seru ditulis. Saya rasa ini akan memberi warna tersendiri program merdeka belajar yang lagi booming sekarang. 

Seperti buku "Kepak Sayap Elang Muda, Dari Sumbawa untuk Semesta" keroyokan 14 mahasiswa Universitas Teknologi Sumbawa yang terbit Desember 2020 lalu ini. Ditulis oleh mahasiswa empat angkatan (2014-2017). Tak semua berkisah tentang prestasi akademik yang semua orang bisa jadi bukan yang terbaik dikelasnya. Mereka berkisah pengalaman uniknya yang belum tentu di alami ketika esok kampus sudah semakin maju dan fasilitas mulai terpenuhi. 

Gotong royong yang menjadi spirit bangsa dan nilai luhur Pancasila tak hanya pada hal pembangunan fisik saja. Menulis buku bisa dong. 

26122021
#MariBerbagiMakna #InspirasiWajahNegeri #InspiringWords #reHATIwan #KepakSayapElangMuda #IWANwahyudi
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me