Langsung ke konten utama

[IBU..... 2]


Ibu...
Bait puisi yang tak pernah usai.
Kata cinta yang tak kenal jeda.
Alunan do'anya yang tak pernah punah
Kerinduan jiwa yang tak sempat kosong.
Paragraf kisah yang tak lekang.
Cerita yang indah tak mengenal tuntas.

Seorang lelaki itu mengedong ibunya yang lumpuh sebagai baktinya. Memandikan dan mensucikannya dari hadats kecil dan besar dengan ikhlas sebagaimana perintah Allah dan RasulNya. Tentu hal itu dilakukan bukan hanya satu dua hari atau beberapa minggu seperti orang yang sedang di rawat di rumah sakit.

Di suatu waktu lelaki ini bertanya pada Umar bin Khattab, "Apakah pengabdian ku sudah cukup untuk membalas budi ibuku? " Umar menjawab "Tidak! Tidak cukup! Karena kamu melakukannya sembari menunggu kematiannya, sementara ibu merawat mu sembari mengharap kehidupanmu".

Mungkin ini salah satu hikmah ketika mereka (ibu dan bapak) telah tiada masih ada kesempatan membalas budi mereka agar mengalirkan pahala padanya dengan do'a anak yang sholeh, sedekah jariyah untuknya dan menyebarkan ilmu yang telah mereka ajarkan. Walaupun kesemuanya tetap saja tak dapat membalas jasa ibu pada kita.

Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah bersabda: "Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR Muslim).

Kata yang paling indah di bibir umat manusia adalah kata 'Ibu', dan panggilan yang paling indah adalah 'Ibuku'. Ini adalah kata yang penuh harapan dan cinta, kata manis dan baik yang keluar dari kedalaman hati. (Khalil Gibran,1883-1931)

bersambung pada tulisan yang lain (karena ibu cerita yang tak pernah tuntas)

23122021
#MariBerbagiMAKNA #reHATIwan #InspirasiWajahNegeri #IWANwahyudi #InspiringWords #SedekahKata
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me