Langsung ke konten utama

[HIDAYATULLAH YANG TERUS BERSUARA]

"Media Massa menjadi saksi literasi setiap peristiwa dijamannya. Membacanya kembali, memutar ulang nostalgia, meneteskan bulir-bulir pelajaran berharga."

Majalah Sahid (sebutan untuk Suara Hidayatullah saat itu) pertama kali saya baca di  Bima, tepatnya Februari 1995 dengan jargon "Aspirasi Generasi Abad Ke Lima Belas Hijriyah". Dan topik utama "Super Power Lawan People Power". Dapat beli di toko buku satu-satunya di Bima, Toko Buku Melati. 

Masa itu cuma ini majalah Islam yang rutin tersedia, banyak majalah atau tabloid Islam yang tersedia beberapa edisi namun hilang tak muncul kembali di toko buku ini. Sejak pertama membaca, maka berakhirlah saya membaca majalah anak-anak Bobo yang berjargon "Sahabat Bermain dan Belajar". Perubahan bacaan ini juga penanda kepindahan saya dan keluarga dari Bekasi ke Bima. 

Edisi paling baru bulan Nopember 2021 masih saya beli di toko buku yang sama dengan tahun 1995. Jargon majalah ini berubah menjadi "Jaringan Masyarakat Bertauhid".

Tema-tema yang di angkat sebelum Reformasi 1998 juga cukup berani. Salah satunya tahun 1996 berisi wawancara dengan Yusril Ihza Mahendra dengan judul kecil di cover depan " Jangan Takut Reformasi". Rubrik Kajian Utamanya sangat khas dan selalu menarik bagi saya menambah wawasan keislaman. 

Diantara Ormas Islam di Indonesia, Hidayatullah satu-satunya yang eksis memiliki Majalah dan masih beredar umum sehingga mudah di dapat (di Bima). Padahal ormas-ormas besar lainnya juga memiliki cabang dan anggota tak sedikit bahkan memiliki institusi pendidikan bahkan hingga Perguruan Tinggi di sini. 

Diantara informasi yang datang baik sebelum maupun setelah reformasi, majalah Hidayatullah menjadi salah satu penyaring dan penyeimbang khususnya bagi saya. 

Salah satu tulisan tentang Kompos di Majalah ini menjadi inspirasi ide tulisan saya dalam Lomba Menulis Essay Lingkungan Hidup tingkat Pelajar se-NTB ketika kelas III SMU (sekarang SMA) saat itu, Alhamdulillah berhasil menyabet juara III. 

Teruslah bersuara, tanpa memandang sudah seberapa lama usia Majalah Suara Hidayatullah... 

Adakah kerabat sekalian para pembaca majalah Hidayatullah seperti saya? 

26112021
@inspirasiwajahnegeri
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me