Langsung ke konten utama

[HIJRAH SEBUAH KEMESTIAN]

“Para muhajir telah memulainya dengan benar, suatu perpindahan yang beranjak dari kesadaran dan bukan dari kemarahan “
(KH. Rahmat Abdullah)

1437 tahun yang lalu sebuah prosesi perpindahan yang tak biasa dilakukan seorang Nabi penutup Muhammad SAW. Perpindahan meninggalkan kampung halaman tempat entah berapa abad lamanya para leluhur tinggal menetap disana. Meninggalkan tidak sedikit orang yang dicintai dan para kerabat. Sebuah gerakan dari Makkah menuju Madinah. Dari sekedar komunitas kecil di Makkah menjadi sebuah Negara dan Peradaban saat di Madinah. Prosesi ini kemudian dikenal dengan Hijrah. Tahapan perjuangan ini kemudian dijadikan sebuah tonggak penanggalan dalam Islam.

Sebuah proses Hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabat adalah peristiwa yang sangat luar biasa, merubah wajah perjuangan, merubah sebuah metode cara melakukan dan menyebarkan kebaikan hingga semakin menyemesta tanpa kehilangan Ruh dasar keIslaman yang menjadi landasan.


Hijrah dalam konteks kekinian dan konteks personal kita sebagai manusia biasa, tentunya mengandung banyak pelajaran dan keteladanan dalam melakukan perubahan dalam diri, dalam gerak dan langkah untuk berkontribusi dalam rangka kemanfaatan bagi sekitar.

Hijrah bukan meninggalkan jati diri
Saat manusia melakukan hijrah yang perlu di ingat adalah tidak sedikitpun merubah atau meninggalkan jatidiri. Hijrah tidak sertamerta kita harus meninggalkan fitrah kemanusiaan yang telah ditetapkan-Nya pada manusia. Hijrah tidak merubah posisi setiap manusia sebagai hamba dari Sang Pencipta dan meninggalkan fungsi-fungsi melakukan dan menebarkan kebaikan dimuka bumi yang telah diperintahkan oleh-Nya.
Jika hijrah meninggalkan jatidiri ia akan hanya menjadi seperti bangunan yang terbuat dari susunan-susunan kartu saja, indah, menakjubkan namun tidak kokoh, mudah rubuh hanya dengan hembusan angin yang sangat kecil sekalipun.

Hijrah bukan sekedar perpindahan dari wilayah ancaman ke wilayah aman
Tidak sedikit diantara kita yang secara sengaja dan sadar hanya ingin berada pada zona aman saja. Enggan berada atau bisa dikatakan pilih-pilih agar tidak berada pada zona yang menantang , tempat baru yang akan mengajarkan wawasan dan pengalaman baru lainnya namun dengan sedikit berlelah-lelah dan mengerut dahi.
Hijrah bukan sekedar meninggalkan wilayah ancaman ke wilayah aman, tapi landasannya adalah berpindah tempat sejenak untuk nantinya kembali melakukan perubahan dan kebaikan termasuk pada tempat atau zona yang awalnya mengancam. Ibarat sejenak mencari tempat jeda menghirup udara untuk memompa kembali energy  lalu spirit perubahan tetap menggelora untuk mewarnai tempat asal.
Hijrah bukan menikmati hujan emas di Negeri orang dan lupa membagi keemasan tersebut di daerah, lingkungan dan orang-orang  dimana berasal.

Hijrah menambah produktifitas dan kontribusi
Siapa yang diam, dia takkan menjadi besar. Siapa yang menghalangi gerak, mereka akan terlindas. “Al harakah fiha barakah” (dalam gerak ada berkah), begitulah sebuah ungkapan KH. Rahmat Abdullah dalam buku Warisan Sang Murabbi. Hijrah mengandung spirit besar “ Bergerak”, tidak menopang dagu atau sekedar puas menjadi penonton ditepian jalan perubahan.
            Hijrah adalah sebuah laku mengambil peran yang lebih besar dan outputnya adalah radius kemanfaatan yang kian luas. Bukan sekedar sebagai jargon seremonial yang berulang-ulang dan mengawang saja. Produktifitas dan kontibusi bisa diukur dari dua dimensi. Bisa jadi ia semakin beranak pinak dengan kuantitas yang meningkat atau bisa saja jumlahnya tetap tapi kapasitas dan kualitas yang dihasilkan semakin bermutu dan berbobot.

Hijrah meninggalkan dan meminimalisir factor penghambat
Dalam kehidupan tentunya setiap orang akan menemui factor penghambat, factor penghambat bisa datang dari dalam diri sendiri atau dari lingkungan sekitarnya. Faktor penghambat dalam diri biasanya dapat berupa keterbatasan fisik atau kegoyahan/kegalauan hati terhadap apa yang dilakukan.
Ketika factor fisik dianggap sebagai penghambat, mengapa tidak menjadikannya sebagai pemacu untuk lebih kontibutif disisi fisik lainnya. Contoh saat kaki kita tak sempurna, kenapa kita tidak memproduktifkan tangan dan pikiran kita untuk lebih menghasilkan tulisan-tulisan yang menggugah dibandingkan dengan orang lain yang fisiknya (kaki) sempurna?. Ya, memang tidak mudah tapi dengan itu kita sudah meminimalisir kekurangan sebagai factor pengganjal produktifitas dan dengan kekurangan yang dimiliki dapat meningkatkan kontibutif dan peran pada sisi yang biasa saja.
Kebimbangan dan kegalauan atas apa yang sedang dilakukan adalah factor penghambat yang sangat mempengaruhi aktifitas. Bayangkan aktifitas hanya sekedar menjadi rutinitas yang tidak membekas dan membuat bahagia, oleh karenanya jadikan setiap apa yang kita lakukan adalah sebuah hal yang membahagiakan. Orang yang melakukan sesuatu dalam kondisi bersuka cita tentu akan lebih produktif dibanding mereka yang bekerja dengan bayang-bayang ketidak nyamanan. Tanamkan keyakinan bahwa apa yang kita lakukan tidak akan sia-sia, setidaknya jika itu kebaikan pasti akan mendapat kebaikan pula dari orang lain apalagi jika sebagai orang yang beriman menempatkan semua amal sebagai ibadah, tentunya ada balasan pahala dari Allah SWT di hari akhir yang abadi kelak.

Hijrah adalah sebuah momentum bagi kita semua baik sebagai pribadi, masyarakat maupun sebagai sebuah bangsa dan Negara. Mari menempatkan momentum dan pesan hijrah itu mulai dari komponen yang terkecil yaitu pribadi kita, meminimalisir semua penghambat yang akan hanya menjadi beban dalam menapaki kehidupan dan semakin memberikan bobot dan kemanfaatan yang lebuh luas minimal bagi diri sendiri.

“Mereka yang dapat berbuat lebih baik dari hari sebelumnya adalah orang-orang yang beruntung, jika tetap stagnan mereka termasuk yang merugi “

Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1437 Hijriyah

14 Oktober 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me