Langsung ke konten utama

[NASI DAN KEINDONESIAAN SAYA]

Saat SD (Sekolah Dasar) guru kami mengatakan bahwa makanan pokok bangsa ini adalah Nasi/beras dan adalah sebuah kesyukuran hingga sekarang saya dapat menikmati bahkan istiqomah menyantapnya tiga kali sehari. Serasa diri ini masih berada pada lingkaran yang benar, membersamai nasi sebagai makanan pokok adalah simbolisasi sederhana keIndonesiaan diantara membanjirnya makanan asing lainnya yang tentu lebih menggoda lidah.

Ketika usia sekolah yang sama juga dijelaskan mayoritas penduuduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, ya pekerjaan yang mengahsilkan beras sang makhluk putih yang kemudian menjadi nasi di hadapan kita. Walau entah telah berapa persen penurunan warga bangsa ini yang masih bertahan menjadi petani. Pekerjaan mayoritas negeri ini kemudian terus tergerus oleh yang lainnya bersamaan dengan eksodus besar-besaran para pekerja asing ditambah kian berkurangnya jumlah lahan pertanian.

Entah sampai kapan Nasi putih asli tanah negeri ini dengan aroma khasnya bisa terus membersamai kita serta anak cucu kita diantara desakan beras impor yg kadang membabi buta nalar bisnis yg menyelimutinya, juga serbuan makanan asing lainnya atas nama gengsi dan gaya hidup? Entah berapa dekade lagi petani sudah tak jadi mata pencaharian mayoritas bangsa ini akibat profesi lain lebih menjanjikan penghasilan dan menaikan strata sosial?

Dizaman itu kelak (jika Allah menakdirkan usia) mungkin keIndonesiaan saya harus direvisi dari sisi makanan pokok dan matapencarian bangsa ini.
Selamat berakhirpekan kerabat semua. Tetaplah bangga dan bahagia dengan #SayaINDONESIA.

22072017
#IwanWahyudi
#MariBerbagiMakna
www.iwan-wahyudi.com
www.iwan-wahyudi.net

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me