Jika hari ini kita semua merasakan ada banyak serangan yang menggerogoti anak bangsa dan mengancam masa depannya juga negeri ini, maka satu kata kunci dari semua, mari melawan itu semua dari masjid kita.
Betapa banyak anak bangsa yang tumbang akibat hisapan narkoba, terjerembab dalam nistanya pergaulan bebas dengan kamuflase kenikmatan, nyawa melayang begitu murahnya dalam pertempuran tawuran antar geng pemuda atau pelajar, perpisahan keluarga akibat godaan perselingkuhan, adab dan etika antara yang muda dan tua kian tergerus, drama panjang pencitraan kekuasaan yang hampir melenyapkan sisi keaslian, pemasungan dan pemerkosaan atas hukum hingga tak berdaya dan bersuara, pengurasan dan korupsi kekayaan negara yang tak terkendali, pendzoliman atas hak-hak mereka yang lemah, dan banyak lagi daftar panjang parade pelemahan dan serangan yang kian hari makin brutal.
Dari mana kita memulai semua arus balik atas gempuran ini, ya dimulai dari diri sendiri. Apakah cukup sampai disitu? Tidak sekuat apapun pribadi jika ia sendiri maka akan tumbang dan larut pula. Domba yang berjalan sendiri akan mudah diterkam oleh serigala jahat. Lalu bagaimana mengkonsolidasikan personal-personal ini? Sejarah panjang bangsa ini juga umat Islam di dunia, selalu menjadikan Masjid sebagai bentengnya.
Sebagian kita usia Sekolah Dasar hingga tahun 2000an masih lekat dalam ingatan bagaimana masjid/mushalla menjadi tempat belajar mengaji, mengaji Al-Qur'an dan kehidupan. Menghidupkan masjid dengan berbagai aktifitas sampai dengan mengisi tampungan air untuk wudhu jama'ah masjid. Sambil ditempa juga dirumah-rumah guru ngaji. Sejak dini tertanam bahwa hidup tak bisa sendiri, sering berinteraksi hingga mengenal satu sama lain lebih dalam, terlatih mengatur beberapa hal. Bahkan hingga merasakan bahagia bersama saat malam takbiran.
Para orangtua yang anak-anaknya telah akrab dengan masjid sedikit demi sedikit juga mulai hadir dalam kegiatan masjid. Bersama-sama mengisi ruang-ruang bekal yang masih kosong dalam jiwa dan pikiran. Patut diduga apa yang ada di hati dan pikiran anak dan orang tua tidak jauh beda. Dekat dengan agama sebagai benteng melalui kehidupan.
Ketika mereka beranjak remaja dan merantau maka katerikatan dengan masjid tidak bisa diberi jarak. Mereka tetap mencari masjid sebagai tempat berteduh dan mengisi bekal. Baik itu dimasjid lingkungan tinggal, tempat kerja maupun tempat menuntut ilmu. Dan tak mungkin dimasjid bekal-bekal negatif dan merusak yang ditanamkan, ditumbuhkan dan dibudidayakan pada setiap anak bangsa.
Mungkin banyak bertanya apa mungkin masjid yang masih secara sederhana pengelolaannya dikampung-kampung bisa membekali anak-anak untuk melakukan "perlawanan"?. Jangan salah para tokoh bangsa dan deretan aktifis negeri ini lahir dari surat-surat sederhana dipelosok dan pegunungan negeri ini. Untuk mendekatkan trend kekinian anak sekarang, masjid harus memberi ruang berekspresi pada mereka agar generasi mereka mendekat dan akrab dengan masjid, toh segmentasi yang akan mengisi ruang-ruang masjid kedepannya adalah para remaja sekarang. Para senior lebih pada mengarah dan memberi pertimbangan saat mereka terlalu semangat dan khilaf. Bukankah yang ditakutkan orang-orang "jahat" diluar sana ketika masjid dan mushalla ramai didatangi ummat seperti ramainya pasar, apalagi yang memadatinya dari generasi muda?
Jika saat ini para anak bangsa kondisinya merisaukan, mari lirik surau dan masjid tempat mereka tinggal apakah ramai mereka datangi? Bila masih sunyi, sedangkan dirumah juga mereka jarang berkumpul bersama keluarga, maka ada yang salah pada diri kita. Benteng mereka hampir roboh. Sebelum benar-benar runtuh mari kembalikan ia sebagai tempat menyiapkan "perlawanan" seperti para orang-orang shalih terdahulu dan para pendiri bangsa ini. Jangan biarkan masjid kembali sunyi, sepi pasca Ramadhan.
23052019
#IWANwahyudi
#MariBerbagiMakna
#EnergiRamadhan
#InspirasiWajahNegeri #reHATIwan
www.iwan-wahyudi.com
Foto : Bersama DR. Mukhamad Najib penulis Buku Gerakan Perlawanan dari Masjid Kampus (1998)
Komentar
Posting Komentar