Langsung ke konten utama

[RINDU KAMPUNG HALAMAN]

 “Demi Allah, sesungguhnya engkau (wahai kota Mekah), adalah negeri ciptaan Allahyang terbaik, sekaligus tanah ciptaan Allah yang paling aku cintai. Demi Allah, kalau bukan karena aku di usir darimu, aku tak akan meninggalkanmu.” (HR. Ibnu Majah)

Suatu ketika ada sahabat bernama Ashil Al-Ghifari  baru saja kembali dari Mekah (Tanah Haram). Ketika hendak menemui nabi di Madinah ia ditanya oleh Aisyah ra istri Rasulullah saw, “ Wahai Ashil, bagaimana keadaan Mekah sekarang?”. Ashil menjawab, “Aku melihat Mekah subur wilayahnya, dan menjadi bening aliran sungainya.”

Tak lama kemudian Rasulullah saw keluar dari kamar dan menanyakan hal yang sama, “Wahai Ashil, ceritakanlah padaku bagaimana keadaan Mekah sekarang?”. Ashil kemudian menjawab, “Aku melihat Mekah subur wilayahnya, telah bening aliran sungainya, telah banyak tumbuh idzkirnya (nama jenih pohon/rerumputan), telah tebal rumputnya, dan telah ranum salamnya (sejenis tanaman yang biasa digunakan untuk menyamak kulit).” Kemudian dengan penuh rindu Rasulullah berucap, “Cukup, wahai Ashil, jangan membuat kami bersedih.”

Kampung halaman adalah tempat di mana kita berasal dan melekatkan namanya pada diri setiap menjawab pertanyaan, “Asalnya dari mana?.” Sebagian besar kita menghabiskan masa anak-anak dikampung halaman, sebagian waktu remaja bahkan hingga dewasa tak lepas dari kampung halaman. Disana tersimpan begitu banyak kenangan dan cerita diri, berkumpul para keluarga dan teman-teman ruang berinteraksi dimasa lalu. Demikian pula halnya dengan Rasulullah saw. Mulai sejak lahir, melalui masa kanak-kanaknya, tumbuh menjadi remaja hingga menerima wahyu dan risalah kenabian saat dewasa semua di Mekah. Sehingga wajar sebagai seorang manusia memiliki rasa kerinduan pada Mekah ketika ia telah berhijrah ke Madinah.

Demikian halnya dengan kita sebagian besar masyarakat Indonesia, mengambil waktu lebaran Idul Fitri sebagai waktu pulang kampung atau mudik. Momentum silaturahim kolosal berbagi kebahagiaan dan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa Ramadhan. 
Saat wabah Covid-19 yang menjadi pandemi dunia ini mewajibkan kita untuk menjaga jarak dan tetap dirumah guna memutus mata rantai penyebarannya, maka harus menunda pulang kampung apalagi disaat istimewa Idul Fitri.

Kerinduan yang terasa akan semakin panjang, sehingga kesabaran yang dimiliki harus lebih besar lagi. Silaturahim tatap muka langsung akan kian berjarak dan makin terpendam dalam hati pada orang tua, saudara, keluarga dan orang-orang terdekat lainnya.
Semakin dalam rindu itu tersimpan bukankah hal tersebut pembuktian kesetiaan?, semakin panjang waktu berpisah bukankah itu ujian seberapa besar cinta pada orang-orang yang kita sayangi?. Cinta dan rindu perlu pengorbanan. Jika itu benar yang kita rasakan, maka tak mungkin kita membuat mereka yang kita sayangi terpapar pandemi Covid-19, akhirnya cinta dan rindu pupus selamanya. 

Ramadhan dan Idul Fitri kali ini terberat bagi kita bahkan bagi sejarah sebagian besar penduduk dunia. Mari melepaskankan kerinduan dengan saling mendo’akan dan menjembataninya melalui media teknologi informasi yang kian memudahkan interaksi.

Semoga wabah ini cepat berlalu dan semua pulih kembali, hingga tiap rindu pada kampung halaman dengan segala isi dan kenangannya makin bersemi.

30042020
#IWANwahyudi
#EnergiRamadhan
#MariBerbagiMakna
#InspirasiWajahNegeri #reHATIwan
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me