Langsung ke konten utama

[Chairil Anwar “Pemberontak” yang Ingin Hidup 1.000 Tahun]

Siapa tak kenal Chairil Anwar berarti tak pernah belajar Bahasa Indonesia seumur hidupnya. Saat generasi saya dibangku Sekolah Dasar (SD) mungkin juga masih pada generasi hari ini, apalagi generasi sebelum-sebelum saya pasti telah di cekokidan hafal betul sajak-sajak berjudul Aku, Krawang Bekasi dan Diponegoro yang sangat mengalirkan api semangat melintasi berbagai generasi sejak sebelum masa kemerdekaan. Itulah sebagian dari buah ujung pena Chairil Anwar diantara 94 tulisan karyanya semasa hidup yang cuma ditakdirkan hingga usia 27 tahun. Ya, dia mati muda.


Dalam catatan HB. Yasin sosok kurus, tirus dan khas dengan matanya yang memerah itu telah melahirkan 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan. Ia adalah perintis bagi sastra modern Indonesia. Prof. A. Teeuw pernah menyatakan sumbangan terbesar Chairil Anwar adalah keberhasilannya meyakinkan bahwa bahasa Indonesia, bahasa yang pada tahun 1940an masih amat muda itu, ternyata bahasa yang menyimpan tenaga besar.

Chairil hadir dengan gaya sastranya sendiri yang mungkin jika hidup hari ini akan di sebut nyeleneh dan makar-memberontak dari gaya sastra senior-seniornya para pujangga baru. Betapa tidak, ia menulis sesukanya dengan kata-kata yang dipungut entah dari mana, dari kata-kata pasaran dikeseharian berbagai suku, dari kosa kata bahasa daerah atau bahasa-bahasa asing yang hadir saat vurus kutu bukunya kambuh melahap rujukan luar yang hanya dimengertinya sedikit-sedikit.

Asrul Sani menilai Chairil Anwar memang memiliki rasa bahasa yang luar biasa untuk memberi makna pada kosa kata baru bahasa Indonesia. Dalam penulisan puisi ia sangat professional. Tehnik penulisan sajak-sajaknya sangat unggul. Ia keluar dari kekakuan aturan tata bahasa. Bahasa adalah alat mengutarakan sesuatu baginya, bahkan jika perlu ia bengkokkan bahasa itu sendiri untuk menjelaskan apa yang ingin ia utarakan.

Si “ Binatang Jalang “ Chairil Anwar tak pernah menyerah, memberi bentuk sendiri cara berjuang untuk bangsanya dengan menghadirkan sajak-sajak berspirit pemberontakan dari keadaan terjajah. Walau dengan kesan urakan, liar dan kumuh dalam tampilan fisiknya. Akhirnya ia menyerah pada komplikasi infeksi paru, tifus dan usus yang membawa takdir tanda titik ujung pena pemberontakannya pada hari ini 28 April, 68 tahun silam.

Terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh Chairil Anwar. Seakan ia memberi pesan mendalam pada kita semua, keberagaman interaksi social dan buku bacaan akan memperkaya wawasan dan gudang aksara dalam diri seseorang yang tercermin dari gaya dan pilihan-pilihan bahasa yang di ucap dan goresan kata di ujung pena. Jangan takut melakukan “pemberontakan” dalam arti sebuah arus perubahan dan kebaikan. Terpenting lagi mengalirkan ide, narasi, semangat agar terus melintasi jaman dan generasi dengan cara menggerakkan ujung penamu sebelum tintanya kering dan mata penanya patah.

Aku
(Chairil Anwar)
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


 #KOPinspirasiWAN
Mataram, 28 April 2017

IWAN Wahyudi
Seorang Pembaca Sajak Chairil Anwar
Penulis Buku BEST SELLER Inspirasi dan Spirit Menjadi Manusia Luar Biasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me