Langsung ke konten utama

[TAFAKUR AKAN LINEAR DENGAN KESYUKURAN]

Panca Indera yang kita miliki bukan sekedar pembuka diri dengan dunia luar semata. Tapi ia adalah sumber yang akan direspon oleh otak dan dinilai oleh hati. Pilihan penilaian dan respon hanya dua bentuk, positif atau negatif. Keduanya akan saling mempengaruhi, jika positifisme tak pengisi ruang tersebut dipastikan negatifisme akan merebut tempat itu (penilaian dan respon yang bersumber dari hati dan pikiran)

Negatifisme itu akan berupa khayalan yang menjadi pekerjaan abadi syaitan untuk merayu dan menipu manusia. Khayalan dan keraguan akan mengarah pada ke khawatiran putus asa dari karunia dan nikmat-Nya, kegundahan yang berlebihan terhadap hal yang belum tentu terjadi, kegelisahan terhadap hal yang belum dialami. Hal inilah perangkap negetifisme yang telah dijanjikan oleh syaitan, " Dan aku (syaitan) benar-benar akan menyesatkan mereka dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka." (QS. An Nisa : 119)

Jebakan ini harus dihindari, perangkap pikiran perlu tersiasati. Jauhi khayalan kosong, campakan pikiran penuh prasangka, buang kekhawatiran tak mendasar kecuali kita akan mengalami frustasi juga ketakutan tanpa dasar. Kembalikan pada proses yang benar, " Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya" (QS. Al A'raf : 201-202).

Bertafakur bukan sebatas berpikir dalam konteks keduniaan semata, membahas problem dunia yang tak pernah habis. Tapi mengarahkan fenomena alam dalam kaitan zona keimanan dan berpengaruh pada kebersihan hati. Tafakur menerawang jauh menerobos alam dunia ke alam akhirat, dari dunia ciptaan pada Sang Pencipta, lepas dari belenggu materialisme dunia pada kekuatan spiritualitas tanpa batas.

Melihat, merasakan, berpikir lalu akan berujung pada tingkat bersyukur. Seperti kebiasaan bertafakur generasi tabi'in Abu Sutaiman Ad Darani "Sekedar aku keluar dari rumah dan apa yang tertangkap oleh mataku, pasti aku melihat bahwa ada nikmat Allah atasku dari apa yang kulihat. Dan dari sana aku memetik pelajaran untukku" (Tafsir Ibnu Katsir, 1/438) 

Tak boleh interaksi pandangan, perasaan dan pikiran membawa kita pada tumbuh suburnya kesombongan karena telah menaklukan sebagian keindahan dunia. Atau bahkan menjadikan kita sendiri dalam lautan massa, sedih ditengah kegembiraan, sunyi diruang penuh keramaian, bahkan mati dalam lautan sejuta harapan yang membentang.

So, liburan dan penjelajahan kita atas bentang indah semesta ini akan diukur sejauhmana pikiran dan hati kita menilainya, kemudian membawa pada alam tafakur menuju kesyukuran yang linear dengannya.

15022018 08:44 Teras Merpati 22
IWAN Wahyudi
#MariBerbagiMakna
#InspirasiWajahNegeri
#KomunitasGerimis
www.iwan-wahyudi.net

Foto : Wira Andra Pura
Lokasi : Jalan menuju Tanjung Menangis Sumbawa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me