Langsung ke konten utama

[KESETIAAN PAHLAWAN]

 


"PAHLAWAN yang setia itu berkorban, bukan buat dikenal namanya, tetapi semata-mata membela cita-cita.” –Drs Mohammad Hatta- Proklamator dan Wakil Presiden Pertama RI

Pahlawan selalu mengambil jalan yang tak mudah. Rute yang tidak setiap orang mau melaluinya. Ia bukan jalan popularitas yang melambungkan namanya hingga disebut oleh khalayak. Bukan pula jalur yang mulus tanpa rintangan dan kelokan tajam mematikan membuat jantung hampir copot. Langkahnya tak bertabur bunga yang harum semerbak apalagi karpet merah.

Pahlawan selalu memilih setia yang akan menagihnya pengorbanan tak berbilang. Memintanya lebih banyak dari lainnya. Merenggut tak sedikit kesenangan yang mungkin telah akrab membuang banyak waktu yang sia-sia.

Moh. Hatta tau konsekuensi itu bahkan harus menjalani pembuangan ke Boven Digul Papua yang horror dengan malaria ganasnya. Jenderal Soedirman paham resikonya, hingga harus bergerilya keluar masuk hutan memimpin perlawanan pada penjajah walau dengan paru-paru tinggal satu yang menemani. Syafruddin Prawiranegara tak perlu lagi bertanya SK atau Kepres ketika harus memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di hutan Sumatera saat semua pemimpin bangsa ditangkap dan diasingkan penjajah hingga pemerintahan nyaris lumpuh. Dan begitu pula para pahlawan lainnya lakukan.

Pahlawan memikul semua atas nama cita-cita besar. Bukan impian pribadi yang sempit atau tujuan sendiri yang kerdil. Bahkan tak demi golongannya yang cuma segelintir.

Tak mungkin ada pahlawan tanpa kesetiaan. Kesetiaan mustahil ada tanpa ruang-ruang heroisme pengorbanan. Dan cita-cita yang menjadi magnet kuat melahirkan manusia-manusia besar itu.

4 November 2024

IWAN wahyudi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me