Langsung ke konten utama

[RUANG PERAN]

Suatu sore beberapa pekan yang lalu saya mendatangi kediaman Dea Guru Syukri Rahmat. Selain bersilaturahim juga sekalian mendengar nasehat beliau sekaligus mengantarkan buku Energi Ramadhan (beliau berkesempatan memberikan sambutan dibuku tersebut) dan Buku Melawan dengan Damai karya ke empat dan kelima saya.

Saat tiba ternyata sudah ada beberapa anak muda yang memenuhi ruang tamu. Mereka selain dari Sumbawa juga Lombok dan luar NTB. Akhirnya saya menyimak dan terlibat dalam diskusi ringan sore itu tentang budaya, Islam, pemuda, termasuk nostalgia ketika menjadi aktivis mahasiswa. Mengingat masa lalu, membaca kondisi hari ini kemudian melakukan sesuatu untuk masa datang. Banyak kerisauan yang sama-sama kami rekam dalam diskusi itu. Salah satu hal yang perlu dilakukan ialah mempelopori dan mengisi ruang kosong yang selama ini belum optimal diperankan.

Salah satu yang sedang beliau lakukan menyiapkan tempat mendidik sumberdaya manusia, membangun Masjid Kampus dan Pusat Pembelajaran URup Dusun Pelitamasa Desa Kelawis Kecamatan Orong Telu Kabupaten Sumbawa. 

Saya mengenal Dea Guru Syukri bukan satu atau dua tahun ini. Saat mahasiswa, saya KKN (Kuliah Kerja Nyata) dikampung beliau, Lengas Poto Kecamatan Moyo Hilir Sumbawa. Salah satu program kami saat itu pendidikan pemilu bagi masyarakat (pemilu dan pilpres langsung) dan saat itu beliau menjadi anggota KPUD kabupaten Sumbawa periode pertama.

Silaturahim selain menguatkan hubungan juga tempat bertukar pikiran dan informasi (bagi saya tempat ngilmu) terkait ruang peran yang sedang kita lakukan dan ruang kosong mana yang perlu diisi oleh peran lainnya yang bisa kita lakukan.

Terimakasih atas kesempatan silaturahimnya. Semoga Allah SWT menjaga dan memberkahi kita semua dalam ruang peran yang sedang dan akan dilakoni.

13102020
#IWANWahyudi
#MariBerbagiMakna 
#InspirasiWajahNegeri 
@iwanwahyudi1
@inspirasiwajahnegeri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me