Langsung ke konten utama

[JADILAH PEMENANG SEJARAH, BUKAN SEKEDAR MENANG PERISTIWA]

Saat duduk di kelas II SMUN 1 Raba (SMA 1 Kota Bima sekarang), kelas kami II 6 mendapat tugas kelompok mata pelajaran sejarah dari pak Sucipto dengan tema Situs-situs Makam Sultan Bima. Selain mencari literasi pustaka di buku, observasi lapangan ke makam, kami mendatangi narasumber dan sejarahwan. Salah satunya Bapak M. Hilir Ismail.
Rumah panggung sederhana beliau berada ditengah pemukiman padat Rabangodu, untuk masuk ke mencapai rumahnya harus melalui gang sepit. Kedatangan kami disambut hangat oleh beliau. Hasil tugas ini, lalu diseminarkan di aula (ruang keterampilan namanya saat itu) sekolah dan beliau menjadi salah satu narasumber. Pasca tugas itu saya beberapa kali silaturahim ke rumah beliau untuk berdiskusi (tepatnya bertanya) tentang sejarah Bima, apalagi saat Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja saya mendalami tentang upacara Tuha ro Lanti (pelantikan sultan Bima) dalam kacamata Demokrasi.

15 Juni 2010, sore itu menjadi perjumpaan saya yang terakhir dengan beliau. Saya membawakan buku Api Sejarah jilid 1 karya Sejarahwan Ahmad Mansyur Suryanegara. Dan saya mendiskusikan buku terbaru beliau Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950. Saat itu setahun pasca pemilu dan pilpres, sedikit beliau merefleksikan politik di Indonesia dan menasehati saya " Jadilah pemenang sejarah, bukan sekedar pemenang peristiwa, berkacalah pada Masyumi yang konsisten dalam perjuangan walau sampai hari ini dibubarkan tapi sejarah mencatatnya sebagai kemenangan perjuangan. Jangan hanya mencari kemenangan peristiwa-peristiwa kecil tapi tidak menyejarah". Nasehat ini begitu dalam dan jleb dihari saya.

Beberapa bulan kemudian beliau wafat, saya sangat kehilangan referensi hidup terkait sejarah dan budaya Bima sekaligus orang tua tempat bertanya disaat masih banyak ilmu dan kisah yang ingin saya dengar dari penuturannya yang khas.

Beliau seorang sarjana sejarah lulusan Universitas Indonesia. Setelah pensiun dari pengawas pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bima dan menjadi Kepala Museum Asi Mbojo beliau tak henti menulis dan menjadi pembicara dalam kajian budaya dan sejarah. Selain buku muatan lokal sejarah dan budaya Bima, lebih dahulu beliau menulis Buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara (saya malahan punya versi print kertas ukuran F4 sebelum masuk penerbit). November 2018, delapan tahun setelah beliau tiada terbit buku "Jejak para Sultan Bima" karya beliau bersama Alan Malingi. Saya berkeyakinan masih banyak buah pena beliau yang terserak dan perlu diwariskan pada generasi selanjutnya.

Suatu ketika sekitar tahun 2001 (jika tak salah ingat) Nenek saya dirawat inap di RSUD Bima. Saat saya tiba malam itu untuk menjenguk. Beberapa keluarga menyambut dan membisikan " Ada muma hilir (panggilan kami pada pak M. Hilir Ismail) di dalam lagi jenguk ato umi (nenek), beliau tanyain kamu " . Saya kaget dari mana beliau tau, padahal selama ini saya tidak pernah memperkenalkan diri saat silaturahim/diskusi ke rumahnya terkait identitas dan saya berasal satu desa dengan beliau dari Desa Nata Kecamatan Palibelo, karena saya sangat menikmati ngobrol dengan beliau sebagai seorang pembelajar tanpa kedekatan lainnya.  " Ato Aji (kakek) yang ceritain kalo kamu sering belajar sejarah di rumah muma Hilir".

Muma Hilir salah satu guru walau tak pernah mengajari saya di bangku sekolah dan ruang kelas, yang menanamkan pada saya (selain minat sendiri terkait sejarah) bahwa sejarah dan menjadi sejarah itu penting. 

10102019
#IWANwahyudi
#TerimakasihGURU
#CatatanGURU
#MariBerbagiMakna
#InspirasiWajahNegeri #reHATIwan
@iwanwahyudi1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me