Langsung ke konten utama

[MELAWAN ARUS]

Dua hari terakhir postingan kuliner didunia maya terutama media sosial tidak jauh-jauh dari menu nikmatnya daging kurban dengan aneka ragam olahannya, dan hampir semua adalah menu kuliner Indonesia yang kaya akan rempah-rempahnya, mulai dari sate, gule, rawon, kikil, sop buntut dan sebagainya.

Namun, saya memosting kuliner lain ala Indonesia -yang mungkin berlawanan arus dengan trend kuliner serba daging-lebih khususnya dana mbojo Bima NTB tempat dimana leluhur saya terlahirkan Doco fo'o toma dan Mangge. Kuliner ini jika ditambah dengan ikan asin tentunya akan lebih menarik selera bagi Dou Mbojo. Colek Bang Mesa Muslih yang beberapa waktu lalu juga memposting sepi yang konon hanya dengan porsi setengah sendok makan sepi dapat meludeskan 3 piring nasi hangat.

Ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benak saya apakah kuliner tradisional lokal ini masih dikenal atau setidaknya pernah dicicipi oleh generasi yang lahir 10 tahun terakhir dengan kehidupan selalu dipenuhi dengan hal-hal serba instan termasuk makanan import?

Ambil contoh kuliner oi mangge+uta karamba (air asam + ikan asin). Dari sisi kelas ekonomi mungkin sebagian besar menganggap ini makanan menengah kebawah (mbojo, dou kampo=orang desa) plus dengan arus trend makanan instan import akan tersingkir karena alasan kurang gaul lah, g gaya, kuno dan sebagainya. Terus bagaimana nasibnya dengan generasi 10 tahun terakhir yang lahir dan besar dikota? 

Dengan gencarnya serbuan kuliner luar yang serba instans perlu dibuat arus melawannya dengan mengenalkan kuliner asli nusantara yang kaya akan keanekaragaman baik rasa,warna, bentuk pada generasi penerus.

Dari segi komposisi gizi yang dihadirkan oleh kuliner lokal tidak kalah dengan kuliner import instan yang cenderung lebih mengedepankan rasa ketimbang gizi dengan penambahan zat penyedap rasa kimia disana-sini.

Saatnya memang kita mulai melawan arus penjajahan ala kuliner. Begitulah kira-kira, jika ada gelombang mengokohkan budaya ketimuran untuk membendung efek negatif budaya barat, kenapa dibidang kuliner kita tidak membangun spirit dan gerakan yang sama.

26092016
#IWANwahyudi
#SaveKulinerÌndonesia
#LoveMasakanNusantara
#AyoCobaOiMangge
#TolakPanganImport

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[SALAM PAGI 170 : MERINDUI PANGGILAN]

  Assalamu’alaikum Pagi “Apakah hari ini diri mendengar syahdu suara adzan Shubuh yang memecah keheningan? Biarkan ia selalui dirindui oleh telinga bersama panggilan menunaikan shalat berikutnya hingga diri dipanggil oleh-Nya.” Saya masih ingat benar ketika listrik pertama kali masuk kampung kakek, hanya masjid yang lebih awal terpasang setrum itu. Biasanya suara adzan tak terdengar oleh rumah yang jauh dari masjid, sebagai penanda hanya bunyi bedug yang mampu merambatkan bunyi di udara lebih jauh radiusnya. Kemudian suara adzan dari pengeras suara menjadi penanda panggilan untuk menunaikan kewajiban shalat, bersujud padanya. Sekarang suara adzan tak terhalang apapun bahkan di daerah tanpa listrik, tanpa masjid bahkan seorang diri yang muslim karena alarm di smartphone dapat diatur sedemikian rupa bahkan dengan suara pilihan seperti adzan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan sebagainya. Coba secara jujur bertanya kedalam diri, “Adakah suara adzan yang paling dirindu dan ditunggu bah

[SALAM PAGI 169 : TERIMA KASIH PAGI]

  Assalamu’alaikum Pagi “Terima kasih pagi atas segala perjumpaan penuh nikmat dari-Nya yang tak pernah terlewati walau sehari pun, tapi kadang diri selalu melupakan.”   Terima kasih pagi yang telah menjadi pembatas antara gelap dan terang. Hingga diri menyadari hidup tidak hanya melawati gelap tanpa cahaya yang memadai, namun juga berhadapan dengan terang yang penuh dengan sinar bahkan terik yang menyengat. Terima kasih pagi yang sudah menjadi alarm menyudahi istirahat. Bahwa hidup tidak mengenal jeda yang lama bahkan berlarut. Bukan pula tentang kenikmatan tidur yang kadang melenakan. Tapi harus kembali bergeliat bersama hari yang akan selalu ditemui,hadapi, taklukan hingga dimenangkan menjadi capaian. Terima kasih pagi yang sudah menyadari bahwa anugerah kehidupan begitu mahal. Organ tubuh yang dirasakan kembali berfungsi dengan normal ketika terbangun tanpa harus mengeluarkan biaya sepeserpun. Konversi rupiah pun tidak bisa menggantikan satu saja syaraf yang berhenti berfungsi no

[SUAPAN TANGAN]

Salah satu anugerah menjadi generasi yang hadir belakangan adalah mendapatkan mata air keteladanan dari para pendahulu yang menyejukan. Tak harus sesuatu yang wah dan besar, hal sepele dan receh kadang menyentak nurani ketika dibenturkan dengan kepongahan jiwa yang angkuh. Mereka dengan jabatan yang mentereng bisa bersikap lebih sombong sebenarnya dibandingkan kita yang dengan tanpa malu petantang-petenteng cuma bermodal kedudukan rendahan. Bahkan ada yang dengan bangga membuang adab dan perilaku ketimuran yang kaya dengan kesantunan dengan dalih tidak modern dan kekinian. Adalah Agus Salim Diplomat ulung awal masa kemerdekaan dengan kemampuan menguasai 9 bahasa asing. Jauh sebelum kemerdekaan republik ini pun ia sudah menjadi bagian dari pergerakan kebangsaan yang memperjuangkan proklamasi kebebasan dari penjajahan. Tapi, jiwa dan karakter keindonesiaannya tak pudar dengan popularitas dan jam terbangnya melalang buana kebelahan dunia. Dalam sebuah acara makan malam ia me